AS Kritik Kebijakan QRIS, Nilai Sistem Pembayaran Indonesia Terlalu Protektif
Home Ekonomi AS Kritik Kebijakan QRIS, Nilai Sistem Pembayaran Indonesia Terlalu Protektif
Ekonomi

AS Kritik Kebijakan QRIS, Nilai Sistem Pembayaran Indonesia Terlalu Protektif

Bagikan
Bagikan

finnews.id – Pemerintah Amerika Serikat (AS) secara terbuka mengkritik kebijakan sistem pembayaran digital Indonesia, khususnya penerapan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).

Kritik ini disampaikan melalui laporan tahunan 2025 National Trade Estimate (NTE) yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR).

Dalam laporan tersebut, AS menyoroti kurangnya transparansi dan keterlibatan pelaku usaha internasional, khususnya perusahaan asal AS, dalam proses penyusunan dan penerapan kebijakan QRIS oleh Bank Indonesia (BI).

“Perusahaan-perusahaan asal AS khawatir karena tidak diberi informasi lebih awal mengenai perubahan kebijakan QR code, dan tidak dilibatkan dalam proses penyusunan sistem tersebut, termasuk bagaimana sistem itu seharusnya bisa terintegrasi dengan sistem pembayaran global,” tulis USTR dalam laporan resminya, dikutip Senin (21/4).

Kritik terhadap Standarisasi Nasional dan Kepemilikan Asing

QRIS mulai diberlakukan sejak Peraturan BI Nomor 21 Tahun 2019, yang mewajibkan seluruh transaksi QR code di Indonesia mengikuti standar nasional. Tujuannya adalah menyatukan berbagai sistem pembayaran QR agar lebih efisien.

Namun, menurut USTR, sistem ini menyulitkan pelaku usaha asing karena tidak dirancang kompatibel dengan infrastruktur pembayaran global.

Selain itu, USTR menyoroti kebijakan pembatasan kepemilikan asing di sektor jasa keuangan, seperti:

  • Maksimal 49% kepemilikan asing di perusahaan pelaporan kredit swasta.
  • Untuk penyedia layanan pembayaran non-bank (front-end), kepemilikan asing hingga 85% dibolehkan, tetapi hak suara dibatasi 49%.
  • Di sisi backend, kepemilikan asing dibatasi hanya 20%.

Kebijakan ini dinilai mempersempit ruang partisipasi investor asing di sektor keuangan digital Indonesia.

Kewajiban Transaksi Melalui GPN Dinilai Menghambat

Laporan USTR juga menyoroti kewajiban penggunaan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) untuk semua transaksi kartu debit dan kredit domestik.

Lembaga switching dalam GPN harus berbasis di Indonesia dan memiliki lisensi dari BI.

Perusahaan asing hanya bisa berpartisipasi jika bermitra dengan entitas lokal dan bersedia melakukan transfer teknologi.

Terlebih lagi, kebijakan baru yang berlaku sejak Mei 2023 yang mewajibkan transaksi kartu kredit pemerintah diproses melalui GPN dan menggunakan kartu lokal, juga mendapat sorotan tajam.

AS menilai aturan tersebut akan membatasi ruang layanan pembayaran internasional, termasuk perusahaan asal Negeri Paman Sam.

Bagikan
Artikel Terkait
Waskita Karya Raup Laba Bruto Rp661,3 Miliar di Kuartal II 2025, Efisiensi dan Restrukturisasi Jadi Kunci Sukses
Ekonomi

Waskita Karya Raup Laba Bruto Rp661,3 Miliar di Kuartal II 2025, Efisiensi dan Restrukturisasi Jadi Kunci Sukses

finnews.id – PT Waskita Karya (Persero) Tbk menunjukkan kinerja keuangan yang positif...

Diskon Tarif Tol Picu Lonjakan Trafik 87 Persen, Wisata dan Ekonomi Sumatera Makin Bergairah!
Ekonomi

Diskon Tarif Tol Picu Lonjakan Trafik 87 Persen, Wisata dan Ekonomi Sumatera Makin Bergairah!

finnews.id – Potongan tarif tol sebesar 20% yang diberlakukan selama periode libur...

Indonesia-Uni Eropa Capai Kesepakatan Politik, Sinyal IEU-CEPA Rampung Tahun Ini
Ekonomi

Indonesia-Uni Eropa Capai Kesepakatan Politik, Sinyal IEU-CEPA Rampung Tahun Ini

finnews.id – Pemerintah Indonesia bersama Komisi Uni Eropa terus melangkah maju dalam...

ASEAN Prihatin Tarif Sepihak Picu Fragmentasi Ekonomi Global, Desak Gencatan Senjata di Gaza
Ekonomi

ASEAN Prihatin Tarif Sepihak Picu Fragmentasi Ekonomi Global, Desak Gencatan Senjata di Gaza

finnews.id – ASEAN kembali bersuara lantang terhadap dinamika global yang semakin memanas....