finnews.id – Lonjakan suku bunga acuan yang terjadi belakangan ini mulai terasa dampaknya bagi pemilik Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Tak sedikit masyarakat yang mulai kelimpungan menghadapi cicilan yang kian menekan. Bagi sebagian orang, kondisi ini bahkan berujung pada risiko tunggakan hingga terancamnya penyitaan rumah oleh pihak bank.
Namun, sebelum hal terburuk terjadi, ada satu opsi yang bisa dipertimbangkan: take over KPR. Langkah ini menjadi solusi alternatif yang cukup diminati, baik oleh mereka yang ingin meringankan beban keuangan, maupun calon pembeli rumah yang mencari alternatif lebih terjangkau dari KPR konvensional.
Apa Itu Take Over KPR?
Secara sederhana, take over KPR adalah proses pengalihan kredit rumah dari pemilik awal kepada pihak lain atau ke bank lain. Dalam praktiknya, pengalihan ini bisa dilakukan dengan dua tujuan: pertama, menjual rumah kepada orang lain yang akan melanjutkan cicilan; kedua, memindahkan pinjaman KPR dari satu bank ke bank lain yang menawarkan bunga lebih ringan.
Menariknya, opsi ini cukup fleksibel karena bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing pihak. Namun tentu saja, ada prosedur dan ketentuan yang harus dipenuhi agar proses berjalan legal dan aman.
Jenis-Jenis Take Over KPR
Mengutip informasi dari situs resmi OCBC, terdapat tiga bentuk utama take over KPR:
- Take Over KPR Antar Bank
Proses ini hanya melibatkan perpindahan cicilan dari satu bank ke bank lain tanpa adanya transaksi jual beli rumah. Tujuannya jelas: mencari suku bunga yang lebih kompetitif. Namun perlu diingat, jenis ini hanya bisa dilakukan jika masa cicilan sudah berjalan minimal satu tahun. - Jual-Beli Rumah Take Over
Dalam skema ini, pemilik rumah menjual properti beserta cicilan KPR-nya kepada pembeli baru. Proses ini melibatkan bank sebagai pihak pemberi kredit, dan disertai dokumen resmi seperti surat kuasa hak tanggungan (SKMHT) serta akta jual beli. - Take Over KPR Bawah Tangan
Jenis ini dilakukan tanpa sepengetahuan pihak bank. Umumnya, pembeli melanjutkan cicilan secara informal kepada pemilik awal. Meskipun tampak lebih sederhana, take over bawah tangan menyimpan risiko besar, seperti sertifikat yang masih atas nama pemilik lama dan perlindungan hukum yang minim.
Syarat dan Dokumen yang Diperlukan
Bagi Anda yang ingin mencoba take over KPR, sejumlah dokumen penting harus disiapkan:
- KTP dan NPWP dari kedua belah pihak
- Slip gaji atau bukti penghasilan
- Surat keterangan kerja
- Buku tabungan aktif
- Fotokopi sertifikat rumah dengan legalisasi bank
- Fotokopi perjanjian kredit
- IMB dan PBB terbaru
Dokumen ini akan menjadi dasar evaluasi bank terhadap kelayakan take over yang diajukan.
Prosedur Pengajuan Take Over KPR
Setelah dokumen lengkap, proses selanjutnya adalah pengajuan resmi ke bank. Bank akan melakukan dua tahap utama:
- Penilaian Ulang (Reappraisal): Menilai ulang nilai properti sebagai agunan dan kelengkapan dokumen.
- Proses Kredit Ulang: Mengevaluasi kemampuan finansial pihak yang akan melanjutkan KPR, termasuk skor kredit dan rasio utang.
Setiap bank memiliki standar penilaian masing-masing, sehingga proses ini bisa memakan waktu tergantung kompleksitas kasus.
Biaya yang Harus Disiapkan
Melakukan take over KPR secara legal tentu ada biayanya. Umumnya, Anda harus membayar:
- Biaya Penalti: Jika pelunasan KPR dilakukan sebelum waktunya, bank lama bisa mengenakan denda 1–3% dari sisa pokok pinjaman.
- Biaya Administrasi KPR Baru: Termasuk biaya notaris, biaya appraisal, provisi, asuransi, serta pembuatan dokumen seperti SKMHT dan APHT.
Secara keseluruhan, biaya take over ini bisa mencapai sekitar 7% dari plafon pinjaman baru. Karenanya, penting untuk menghitung secara matang manfaat jangka panjang yang akan diperoleh.
Kesimpulan
Di tengah tekanan ekonomi dan cicilan rumah yang makin memberatkan, memahami cara take over KPR bisa menjadi penyelamat. Baik untuk memindahkan cicilan ke bank dengan bunga lebih ringan, atau menjual rumah kepada pihak lain, take over KPR menawarkan jalan tengah yang legal dan solutif. Namun, pastikan semua proses dilakukan secara resmi agar perlindungan hukum tetap terjamin. (*)