finnews.id – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih menghadapi tekanan meski sempat mencatatkan penguatan tipis di awal perdagangan Kamis pagi (16/4). Menurut data Bloomberg, rupiah diperdagangkan pada level Rp16.811 per dolar AS pukul 09.19 WIB, menguat 26 poin atau 0,15% dibandingkan penutupan sebelumnya di Rp16.837.
Meski menunjukkan sinyal positif, penguatan tersebut belum cukup kuat untuk meredam tekanan global yang masih membayangi pergerakan mata uang Garuda. Analis pasar keuangan Ariston Tjendra menilai, potensi pelemahan rupiah masih cukup besar karena meningkatnya minat pasar terhadap aset safe haven seperti emas.
“Lonjakan harga emas hingga menembus level US$3.300 per troy ons menjadi indikasi kuat bahwa pasar sedang menghindari risiko,” jelas Ariston.
Tekanan terhadap rupiah juga diperparah oleh munculnya kembali isu perang tarif yang diusung Presiden Donald Trump. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya lonjakan inflasi di Amerika Serikat, yang kemudian disoroti oleh Ketua The Federal Reserve, Jerome Powell.
Dalam pernyataannya, Powell menyiratkan kekhawatiran terhadap dampak kebijakan tarif tersebut terhadap harga barang di AS. Imbasnya, pasar mulai memperkirakan bahwa The Fed tidak akan segera memangkas suku bunga acuannya, yang pada akhirnya memperkuat posisi dolar.
“Jika inflasi meningkat dan suku bunga tetap tinggi, maka investor global cenderung beralih ke aset berbasis dolar,” kata Ariston.
Ia memperkirakan rupiah masih berpotensi melemah menuju kisaran Rp16.900 per dolar AS, dengan level support di sekitar Rp16.800.
Dengan kondisi global yang tidak menentu, pelaku pasar disarankan untuk tetap waspada terhadap berbagai perkembangan yang berpotensi memengaruhi nilai tukar rupiah dalam waktu dekat. (*)