finnews.id – Sejumlah mantan pemain sirkus dari Oriental Circus Indonesia (OCI) mendatangi Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemenham) untuk melaporkan dugaan kekerasan, eksploitasi, hingga perlakuan tidak manusiawi yang mereka alami selama puluhan tahun. Aduan tersebut disampaikan langsung kepada Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, dalam sebuah audiensi yang digelar Selasa (15/4).
Para korban mengungkap kisah pilu yang mereka alami sejak kecil, termasuk kekerasan fisik, pemaksaan kerja saat hamil, hingga kehilangan identitas diri.
Salah satu korban, Ida, mengenang awal keterlibatannya dalam sirkus sejak usia 5 tahun. Ia dipisahkan dari orang tuanya dan dibawa ke sebuah kebun binatang di Cisarua, Bogor, untuk dilatih menjadi pemain sirkus.
“Sejak kecil saya dilatih keras. Kalau salah saat latihan, saya dipukul,” ujarnya kepada wartawan.
Ida juga menceritakan kecelakaan saat pertunjukan di Lampung yang membuatnya mengalami patah tulang belakang. Ia tidak langsung dibawa ke rumah sakit hingga mengalami pembengkakan parah.
Korban lain, Butet, mengaku kerap dipukuli bahkan saat tengah hamil. Ia pernah dirantai menggunakan rantai gajah, dipaksa tampil saat mengandung, dan dipisahkan dari bayinya setelah melahirkan.
“Saya juga pernah dijejali kotoran gajah hanya karena mengambil daging empal,” ucapnya sambil menangis.
Lebih memilukan, ia mengaku kehilangan identitas dirinya. “Saya tidak tahu siapa saya, tidak tahu nama, usia, atau siapa keluarga saya,” ujarnya.
Fifi, yang kini diketahui sebagai anak kandung Butet, mengaku mengalami siksaan brutal. Ia mengaku pernah dikurung di kandang macan, diseret, hingga disetrum di bagian kelamin.
“Saya disetrum sampai lemas, rambut ditarik, sampai ngompol. Lalu saya dipasung,” tuturnya.
Menanggapi laporan para korban, Wakil Menteri HAM Mugiyanto menyatakan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti kasus ini dengan memanggil manajemen Taman Safari Indonesia (TSI), tempat yang disebut oleh para korban sebagai lokasi mereka dipaksa tampil.
“Kami akan segera mengupayakan klarifikasi dari pihak yang dilaporkan. Ini untuk memastikan tidak ada praktik serupa di masa kini,” kata Mugiyanto.
Ia juga menyebut bahwa pemanggilan tersebut bertujuan mengawal rekomendasi Komnas HAM yang sebelumnya belum ditindaklanjuti oleh pihak TSI.
Muhammad Soleh, kuasa hukum para korban, meminta pemerintah membentuk tim pencari fakta independen. Ia mengungkapkan, dari 16 korban yang didampinginya, baru lima orang yang berhasil menemukan orang tua kandung mereka.
Soleh juga menyebut bahwa kliennya, Fifi, sempat melaporkan dugaan penghilangan asal-usul ke Mabes Polri pada 1997. Namun kasus tersebut dihentikan karena dianggap tidak cukup bukti.
“Masalah ini sudah berlangsung puluhan tahun. Kami butuh sinergi dari Kemenham, KemenPPA, dan lembaga lainnya,” ujar Soleh.
Taman Safari Indonesia Bantah Terlibat
Pihak Taman Safari Indonesia menyatakan bahwa mereka tidak memiliki hubungan bisnis maupun tanggung jawab hukum terhadap para eks pemain sirkus yang melaporkan kasus ini. Dalam pernyataan resminya, manajemen menegaskan bahwa TSI adalah entitas terpisah dan tidak terafiliasi dengan individu yang terlibat.
“Permasalahan ini bersifat pribadi dan tidak berkaitan dengan Taman Safari Indonesia Group secara kelembagaan,” bunyi pernyataan resmi TSI.
TSI juga meminta agar nama baik perusahaan tidak diseret ke dalam kasus ini, dan mengajak masyarakat untuk bijak menyikapi informasi di media sosial.
Menanggapi tudingan tersebut, Tony Sumampau, salah satu pendiri Taman Safari Indonesia, membantah keras tuduhan kekerasan tersebut. Ia menilai klaim para korban tidak masuk akal.
“Kalau benar dipukul pakai besi, mati mungkin. Itu fitnah. Kami justru menyelamatkan mereka dari tempat prostitusi Kalijodo,” ujar Tony.
Tony menambahkan, para korban dirawat sejak bayi dan bahkan dijaga oleh suster. Ia juga menyebut bahwa Komnas HAM pernah menyatakan langkah penyelamatan itu sudah tepat.
“Kalau tidak ditampung, mungkin kalian sudah tidak ada. Harusnya terima kasih, bukan menuduh,” tegasnya.
Meski kasus ini sebagian besar terjadi sebelum adanya UU HAM tahun 1999, pihak Kemenham menegaskan bahwa tindakan pidana tetap bisa dijerat menggunakan KUHP.
Publik kini menanti langkah konkret dari pemerintah dan aparat penegak hukum untuk mengusut dugaan pelanggaran yang telah berlangsung selama puluhan tahun ini.