finnews.id – Pergerakan nilai tukar rupiah kembali menunjukkan sinyal positif di tengah gejolak ekonomi global. Pada Kamis (10/4) sore, kurs rupiah ditutup menguat terhadap dolar Amerika Serikat menyusul keputusan Presiden Donald Trump yang menunda penerapan tarif resiprokal terhadap negara-negara di luar China selama 90 hari.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup di level Rp16.823 per dolar AS, menguat 49 poin atau sekitar 0,29% dibandingkan penutupan hari sebelumnya di level Rp16.872. Meski penguatan ini terbilang tipis, namun menjadi angin segar bagi pelaku pasar yang sempat dibayangi kekhawatiran terhadap kelanjutan kebijakan dagang Amerika Serikat.
Pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi, menjelaskan bahwa penundaan tarif oleh Trump memicu pelemahan indeks dolar karena ekspektasi resesi mulai mereda. “Tapi perlu dicatat, pasar masih berhati-hati. Sikap Trump yang bisa berubah sewaktu-waktu, terutama terkait kebijakan tarif, membuat ketidakpastian tetap tinggi,” ujar Ibrahim dalam keterangan tertulisnya.
Dampak Perang Dagang AS-Tiongkok
Kendati kebijakan tarif itu ditunda, ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Bahkan, dalam langkah balasan, Beijing mengenakan tarif sebesar 84% terhadap barang-barang asal AS, setelah sebelumnya Trump menaikkan tarif hingga 125%—angka tertinggi sepanjang sejarah perdagangan antara kedua negara.
“Baik Washington maupun Beijing belum ada sinyal akan berdamai. Tiongkok bahkan menegaskan akan terus melawan hingga akhir,” tambah Ibrahim.
Situasi ini menciptakan tekanan baru terhadap ekonomi Tiongkok, meskipun tarif AS secara teori membuat barang ekspor mereka menjadi lebih murah. Namun, dampak jangka panjang terlihat dalam data inflasi terbaru di Tiongkok yang menunjukkan penyusutan baik pada konsumen maupun produsen, mengindikasikan dampak nyata dari perang dagang tersebut.
Dampak Global terhadap Rupiah
Kondisi global ini tentu tak lepas dari perhatian Indonesia. Meski Bank Indonesia dan pemerintah terus berupaya menjaga stabilitas rupiah melalui berbagai intervensi, kenyataannya tekanan eksternal tetap membatasi ruang gerak penguatan nilai tukar.
Menurut Ibrahim, tarif tinggi yang diberlakukan dalam perang dagang dapat menurunkan volume perdagangan global, terutama bagi negara-negara seperti Indonesia yang sangat mengandalkan ekspor. “Ketika ekspor melemah, tentu berimbas pada stabilitas nilai tukar, termasuk rupiah,” tuturnya.
Meski hari ini rupiah berhasil mencatat penguatan, sentimen global yang belum pasti tetap menjadi tantangan utama. Pelaku pasar diharapkan tetap cermat dalam membaca arah kebijakan ekonomi global, terutama yang berasal dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok. (*)