finnews.id – Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menegaskan, pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP terbaru) tidak dihapuskan.
Yusril menjelaskan, hukuman mati ditempatkan sebagai sanksi pidana bersifat khusus dan dijatuhkan serta dilaksanakan secara sangat hati-hati.
“Bagaimanapun hakim dan pemerintah merupakan manusia biasa yang bisa saja salah dalam memutuskan,” ujar Yusril ketika dikonfirmasi di Jakarta, Rabu 9 April 2025.
Yusril menjelaskan, pendekatan kehati-hatian tersebut berasal dari penghormatan terhadap hak hidup sebagai anugerah Tuhan Yang Mahakuasa.
Oleh karena itu, pidana mati hanya dijatuhkan untuk berbagai kejahatan berat tertentu dan tidak boleh dilaksanakan tanpa pertimbangan mendalam.
Menurut dia, jika suatu kesalahan terjadi dalam menjatuhkan dan melaksanakan pidana mati, konsekuensinya tidak dapat diperbaiki.
Pasalnya, orang yang sudah dihukum mati tidak mungkin dihidupkan kembali sehingga kehati-hatian merupakan prinsip yang mutlak.
Maka dari itu, dalam KUHP terbaru, dia menyebutkan pidana mati tidak serta-merta dilaksanakan setelah putusan pengadilan, tetapi hanya dapat dieksekusi setelah permohonan grasi terpidana ditolak oleh presiden.
Dengan demikian, lanjut dia, permohonan grasi atas penjatuhan pidana mati wajib dilakukan, baik oleh terpidana, keluarga, maupun penasihat hukumnya, sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Ia mengungkapkan bahwa Pasal 99 dan 100 UU No. 1/2023 tentang KUHP memberi ruang kepada hakim untuk menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun.
“Apabila selama masa itu terpidana menunjukkan penyesalan dan perubahan perilaku, Presiden dapat mengubah pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup,” ucap Yusril.
Selain itu, Menko menambahkan bahwa jaksa juga diwajibkan oleh KUHP untuk mengajukan tuntutan hukuman mati disertai alternatif hukuman jenis lain, misalnya hukuman seumur hidup, untuk dipertimbangkan majelis hakim.
Untuk itu, Yusril tak menampik bahwa Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI harus menyusun Undang-Undang tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 102 KUHP terbaru.
Kendati demikian, kata dia, secara substansi bahwa ketentuan mengenai pidana mati sebagai pidana khusus telah dirumuskan secara tegas dalam Pasal 64 huruf c serta Pasal 67 dan 68 KUHP terbaru.
Terkait dengan perdebatan seputar HAM, Yusril menyatakan bahwa sikap terhadap pidana mati sangat bergantung pada tafsir filosofis tentang hak hidup.
Beberapa agama pada masa lalu, menurut dia, mungkin membenarkan pidana mati berdasarkan doktrin dan hukum agama tersebut.
Namun, dalam perkembangan teologis masa kini, ada pula tafsir baru yang menolak pidana mati.
KUHP terbaru, sambung dia, mengambil jalan tengah antara berbagai pendekatan. Pidana mati dikenal dalam Hukum Pidana Islam, hukum pidana adat, maupun dalam KUHP warisan Belanda.
Menko menghormati hukum yang hidup atau the living law dalam masyarakat. Oleh karena itu, pihaknya tidak menghapuskannya, tetapi merumuskan pidana mati sebagai upaya terakhir, yang pelaksanaannya dilakukan dengan penuh kehati-hatian.