Memang di beberapa daerah, takbiran berubah menjadi ajang kompetisi. Contohnya, siapa yang memiliki bedug terbesar, siapa yang bisa membuat replika masjid paling megah, atau siapa yang memiliki pawai takbir paling meriah.
Tak jarang pula perayaan ini diiringi dengan petasan dan kembang api yang justru menjauhkan dari makna asli takbir.
“Malam takbiran adalah momentum sakral untuk merenungkan kebesaran Allah, bukan sekadar pesta. Jangan sampai kemeriahan justru menghilangkan substansi spiritualnya” tegasnya.
Ia lantas mengingatkan bahwa takbir adalah bentuk pengakuan atas kebesaran Allah Swt. sekaligus cara Islam berinteraksi dengan budaya lokal tanpa kehilangan esensinya.
“Yang perlu kita jaga adalah keseimbangan antara tradisi dan spiritualitas. Takbiran harus tetap menjadi ajang syiar Islam, bukan sekadar euforia sesaat,” pungkasnya. (Annisa Zahro)