finnews.id – Lomba Ogoh-Ogoh di Kabupaten Badung, Bali, bukan sekadar ajang kompetisi seni, tetapi juga perwujudan nilai budaya dan spiritualitas yang mendalam. Setiap tahun, ribuan masyarakat berkumpul untuk menyaksikan parade megah ini, yang menjadi bagian dari perayaan Nyepi. Ogoh-ogoh, patung raksasa yang menggambarkan Bhuta Kala atau kekuatan negatif, di arak keliling desa sebelum akhirnya di bakar sebagai simbol penyucian diri.
Di Badung, lomba ini menjadi ajang bergengsi yang melibatkan banjar-banjar (kelompok masyarakat adat) dalam persaingan kreatif. Pemerintah daerah bahkan mengalokasikan anggaran khusus untuk mendukung pembuatan ogoh-ogoh, yang bisa mencapai puluhan juta rupiah per unit. Selain sebagai ekspresi seni, lomba ini juga menjadi sarana edukasi bagi generasi muda untuk memahami filosofi Nyepi dan menjaga warisan budaya Bali.
Dengan perpaduan seni, budaya, dan spiritualitas, Lomba Ogoh-Ogoh di Badung menjadi daya tarik wisata yang luar biasa. Ribuan wisatawan domestik dan mancanegara datang untuk menyaksikan kemegahan parade ini. Lebih dari sekadar tontonan, lomba ini mencerminkan semangat gotong royong, kreativitas, dan nilai-nilai luhur yang di wariskan turun-temurun.
Sejarah dan Makna Ogoh-Ogoh dalam Tradisi Bali
Ogoh-ogoh pertama kali muncul dalam tradisi Bali pada awal abad ke-20, meskipun konsepnya berakar pada kepercayaan Hindu yang lebih tua. Patung ini melambangkan Bhuta Kala, entitas yang merepresentasikan kekuatan negatif dan ketidakseimbangan alam. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala harus di kendalikan agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Oleh karena itu, ritual pengerupukan—yang melibatkan arak-arakan ogoh-ogoh—di laksanakan sehari sebelum Nyepi sebagai bentuk penyucian lingkungan.
Seiring waktu, ogoh-ogoh berkembang dari sekadar simbol spiritual menjadi karya seni yang luar biasa. Pada tahun 1980-an, tradisi ini mulai mendapatkan perhatian lebih luas, terutama setelah pemerintah daerah dan komunitas adat menjadikannya bagian dari perayaan resmi Nyepi. Kini, ogoh-ogoh tidak hanya menggambarkan makhluk mitologi Hindu, tetapi juga bisa merepresentasikan isu sosial, politik, dan lingkungan.