Catatan Dahlan Iskan

Bisnis Ilmu

Bagikan
Bagikan

Oleh: Dahlan Iskan

DAENG Tamalanrea ke kampus Tamalanrea, Universitas Hasanuddin, Makassar. Selasa lalu. Hanya satu orang yang ingin ia temui: Prof Dr Nurpuji A. Taslim. Dia guru besar ilmu gizi yang sudah memiliki 19 hak paten. Semua hasil penelitiannyi sendiri.

Kelebihannyi: dia peneliti tapi tetap menekuni bidang klinis. Dokter seperti ini tidak banyak. Pasti amat sibuk. Bahkan dia masih pula jadi dosen: mengajar di fakultas kedokteran Unhas.

Saya juga pernah kenal ilmuwan wanita seperti Nurpuji. Jauh lebih muda: Dr dr Purwati –mungkin sekarang juga sudah profesor. Dia peneliti. Klinis. Dosen. Dari Unair Surabaya. Bidangnya saja yang beda. Purwati di bidang stemcell. Saya sudah lebih 10 kali stemcell di Dr Purwati.

Dua wanita itu sama-sama berhasil mengembangkan hasil penelitian menjadi bisnis. Purwati akhirnya sangat terkenal sebagai ahli stemcell yang kemudian memiliki klinik sendiri. Di Jakarta. Laris sekali. Bahkan sudah pula punya rumah sakit.

Prof Nurpuji juga punya pabrik albumin. Kapsul. Juga laris. Sampai lahir produk yang menyainginya. Pabrik kapsul albumin itu hasil pengembangan penelitiannyi: ikan gabus sebagai sumber albumin.

Kapsul albuminnyi terbaik di Indonesia. Tertinggi kandungan albuminnya: 0,75 gram/kapsul. Itu karena Nurpuji tidak terlalu rakus laba. Dia lebih berorientasi wajah pasien-pasiennyi yang perlu pertolongan.

Bergerak di tiga bidang tentu membuat dua wanita itu amat sibuk. Tapi peneliti-klinis-dosen sebenarnya memang bisa saling dukung.

Sebagai peneliti dia tahu apa yang sangat dibutuhkan pasien. Sebagai dokter dia juga tahu penelitian apa yang akan bermanfaat bagi pasien.

Lalu, sebagai dosen dia bisa menugaskan mahasiswa S-2 yang mereka bimbing untuk membantu melaksanakan penelitian. Sekaligus menularkan ilmu dan jiwa keilmuan. Yakni jiwa agar mereka tertular cinta penelitian.

”Kelemahan” orang seperti mereka: terlalu sibuk. Prof Nurpuji tidak punya waktu mengurus izin-izin di birokrasi agar kapsul albumin itu meningkat statusnya menjadi vito farmaka. Purwati tidak punya waktu urus birokrasi pendidikan sehingga telat sekali jadi profesor.

Saya ke Makassar juga untuk ke makam almarhum Alwi Hamu. Ia 30 tahun bersama saya mengembangkan grup Jawa Pos. Di makam itu saya minta maaf: waktu ia meninggal dua bulan lalu saya tidak bisa ikut melayat. Waktu itu saya diwakili Faisal Hamdan, direktur Disway Sulsel. Salah satu putra Pak Alwi Hamu, Subhan, memang pilih mengembangkan Disway di Sulsel.

Dari makam keluarga milik mantan Wapres HM Jusuf Kalla itu saya ke kampus Tamalanrea. Prof Nurpuji sudah menunggu di lantai lima salah satu rumah sakit milik Unhas yang amat sibuk. Saking sibuknya saya pilih turun dari lantai lima lewat tangga. Sekaligus berolahraga tambahan sebelum berbuka puasa.

“Dari 19 paten itu mana yang Prof paling banggakan?”

“Yang Albumin,” jawab Prof Nurpuji.

“Nur Puji atau Nurpuji?”

“Nurpuji. Disambung”.

“Seperti nama orang Jawa….”

“Ibu saya Jawa”.

Ayah Nurpuji-lah yang Makassar. Tentara. Terakhir berpangkat Letkol. Pindah-pindah tugas. Saat berdinas di Jawa dapat jodoh wanita Jawa.

Sejak lahir sampai S-1 Nurpuji di Makassar. Lalu mendapatkan gelar master di universitas di North Carolina, Amerika. Nurpuji lantas kembali ke Unhas untuk S-3.

Suaminyi saya kenal: komisaris di Bosowa. Pernah pula jadi dekan fakultas ekonomi di Unhas.

Saya pun minta maaf ke Prof Nurpuji. Saya telat tahu. Salah sangka. Ternyata bukan Universitas Brawijaya Malang yang lebih dulu meneliti kandungan albumin pada ikan haruan.

Waktu saya perlu-perlunya tambahan albumin (2005-2006) saya mencarinya di UB Malang. Berhasil. Tidak ke Prof Nurpuji. Ternyata tahun 2002 Prof Nurpuji sudah punya produk kapsul albumin.

Itulah kelebihan peneliti yang tetap menekuni bidang klinis. Prof Nurpuji bisa menghadapi langsung penderitaan pasien. Ada pasien yang di samping kekurangan albumin juga kekurangan uang. Dokter harus tetap menyelamatkan pasien yang miskin.

“Setelah jadi dokter jangan berhenti menjadi ilmuwan”.

Itulah kalimat yang selalu saya ingat dari kemarahan Dr Shen Zhong Yang kepada tim dokternya. Yakni saat tim itu tidak kunjung bisa menyelesaikan keluhan saya pasca transplant hati. Pendiri rumah sakit pusat transplant di Tianjin, Tiongkok, itu sendiri seorang peneliti ternama. Ia punya toples berisi air di meja kerjanya. Di dalamnya ada barang. Itulah hati bayi yang gagal ia selamatkan saat pertama melakukan transplant.

Nurpuji dan Purwati tidak termasuk yang berhenti menjadi ilmuwan. Juga terus berbisnis di bidang mereka.

“Kenapa merek kapsul albumin Anda ini seperti nama petani di Jawa”?

“Bukan,” jawanyi. “Itu gabungan nama saya dan kata albumin”, tambahnyi.

Mereknya: Pujimin.(Dahlan Iskan)

Bagikan
Artikel Terkait
Catatan Dahlan Iskan

Air Mata

Oleh: Dahlan Iskan Umur Fahrul 24 tahun. Masih perjaka. Ia sudah punya...

Catatan Dahlan Iskan

Wanita Danantara

Oleh: Dahlan Iskan Dia bukan bos. Kalau pun bisa disebut begitu dia...

Catatan Dahlan Iskan

Danantara Audit

Oleh: Dahlan Iskan Nama BPK naik daun: Badan Pemeriksa Keuangan. Isu bahwa...

Catatan Dahlan Iskan

Daging Mentah

Oleh: Dahlan Iskan “Sudah mencoba makanan daging mentah?” “Belum”. “Saya juga belum....