finnews.id – Dalam beberapa dekade terakhir, dunia telah menyaksikan kebangkitan ekonomi dan geopolitik Tiongkok yang luar biasa.
Negara yang dulu dikenal sebagai “Raksasa Tidur” kini telah bangkit menjadi kekuatan global yang dominan. Sementara itu, Indonesia yang sering disebut sebagai “Macan Asia yang Tertidur,” masih tertatih-tatih dalam menghadapi tantangan domestik dan global.
Artikel ini akan membahas bagaimana Tiongkok semakin maju di panggung dunia, sementara Indonesia masih berjuang di tanah sendiri.
Kebangkitan Naga di Panggung Global
Tiongkok telah mengalami transformasi ekonomi yang luar biasa dalam empat dekade terakhir. Sejak reformasi ekonomi yang dipimpin oleh Deng Xiaoping pada akhir 1970-an, negara ini berhasil mengangkat lebih dari 800 juta orang keluar dari kemiskinan (Bank Dunia, 2022). Dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran 6-8% per tahun sebelum pandemi, Tiongkok kini menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Keberhasilan ini didukung oleh kebijakan industri yang agresif, investasi besar dalam infrastruktur, serta dominasi dalam sektor manufaktur dan teknologi.
Selain ekonomi, Tiongkok juga semakin berpengaruh dalam geopolitik global. Melalui inisiatif Belt and Road Initiative (BRI), negara ini telah menginvestasikan lebih dari $1 triliun dalam proyek infrastruktur di lebih dari 140 negara (Brookings Institution, 2023). Langkah ini tidak hanya memperkuat hubungan dagang Tiongkok dengan berbagai negara, tetapi juga meningkatkan pengaruhnya di kawasan Asia, Afrika, dan Eropa. Dengan strategi diplomasi ekonomi ini, Tiongkok berhasil menempatkan dirinya sebagai mitra utama bagi banyak negara berkembang.
Di sektor teknologi, Tiongkok telah menjadi pemimpin global dalam berbagai bidang, termasuk kecerdasan buatan (AI), 5G, dan kendaraan listrik. Perusahaan seperti Huawei, Alibaba, dan BYD telah menunjukkan daya saing yang luar biasa di pasar internasional. Pada tahun 2023, Tiongkok menguasai lebih dari 30% pasar kendaraan listrik global, mengalahkan produsen dari Eropa dan Amerika Serikat (International Energy Agency, 2023). Keunggulan ini menunjukkan bahwa Tiongkok tidak lagi hanya menjadi “pabrik dunia,” tetapi juga inovator teknologi yang mampu bersaing di tingkat global.
Namun, kebangkitan Tiongkok juga menimbulkan tantangan geopolitik. Ketegangan dengan Amerika Serikat dalam perang dagang dan persaingan teknologi semakin meningkat. Selain itu, kebijakan luar negeri yang agresif di Laut China Selatan juga memicu ketegangan dengan negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Meskipun demikian, Tiongkok tetap melaju dengan strategi jangka panjangnya, menunjukkan bahwa “Naga” ini tidak akan berhenti dalam waktu dekat.
Garuda yang Tertatih di Tanah Sendiri
Di sisi lain, Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang menghambat pertumbuhan dan daya saingnya. Meskipun ekonomi Indonesia tumbuh sekitar 5% per tahun dalam dekade terakhir (BPS, 2023), angka ini masih jauh di bawah potensi maksimalnya. Infrastruktur yang belum merata, birokrasi yang berbelit, serta ketergantungan pada ekspor komoditas mentah menjadi faktor utama yang menghambat kemajuan ekonomi Indonesia. Dibandingkan dengan Tiongkok yang telah beralih ke industri bernilai tambah tinggi, Indonesia masih tertinggal dalam hal inovasi dan industrialisasi.
Salah satu tantangan terbesar Indonesia adalah daya saing sumber daya manusia. Menurut laporan World Economic Forum (2023), Indonesia berada di peringkat ke-55 dalam Indeks Daya Saing Global, jauh di bawah Tiongkok yang berada di peringkat ke-28. Kualitas pendidikan dan keterampilan tenaga kerja masih menjadi masalah utama. Banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri, sehingga menciptakan kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja.
Selain itu, ketidakstabilan politik dan korupsi masih menjadi hambatan besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Transparency International (2023) menempatkan Indonesia di peringkat ke-110 dalam Indeks Persepsi Korupsi, menunjukkan bahwa praktik korupsi masih merajalela di berbagai sektor. Hal ini menghambat investasi asing dan memperlambat pembangunan infrastruktur serta reformasi ekonomi. Dibandingkan dengan Tiongkok yang memiliki kebijakan ekonomi yang lebih terarah dan disiplin, Indonesia masih sering terjebak dalam dinamika politik yang menghambat kemajuan.
Meskipun demikian, Indonesia masih memiliki potensi besar untuk bangkit. Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia memiliki modal yang kuat untuk menjadi kekuatan ekonomi besar. Namun, tanpa reformasi yang serius dalam pendidikan, birokrasi, dan kebijakan industri, Indonesia akan terus tertinggal dari negara-negara lain, termasuk Tiongkok. Jika “Garuda” ingin terbang tinggi, maka diperlukan strategi yang lebih jelas dan eksekusi yang lebih disiplin dalam menghadapi tantangan global.
Kesimpulan
Kebangkitan Tiongkok di panggung global menunjukkan bagaimana strategi jangka panjang, investasi dalam teknologi, dan kebijakan ekonomi yang disiplin dapat membawa sebuah negara menuju kejayaan. Sementara itu, Indonesia masih tertatih-tatih dalam menghadapi tantangan domestik yang menghambat pertumbuhannya. Jika Indonesia ingin mengejar ketertinggalan, maka diperlukan reformasi yang lebih serius dalam berbagai sektor. Tanpa langkah konkret, “Garuda” akan terus tertinggal, sementara “Naga” semakin melesat ke depan.