finnews.id – Ada Masjid yang menyuarakan azan dengan 9 muazin sekaligus jelang Salat Jumat. Kabar unik itu membuat saya dan beberapa teman penasaran.
Akhirnya rasa penasaran tersebut hilang, setelah saya bersama 12 orang jemaah salat jumat keliling datang mengunjungi Masjid Tajug Gede Cilodong, Kecamatan Bungursari, Purwakarta, pada Jumat 21 November 2025.
Masjid ini kerap disebut sebagai masjid sembilan azan, sebuah sebutan yang terdengar tak biasa, bahkan bagi saya yang sudah sering menjumpai masjid-masjid unik di berbagai daerah.
Begitu melangkah masuk ke area masjid, mata saya langsung dimanjakan oleh taman yang tertata rapi. Bunga-bunga warna-warni mengelilingi pelataran, memberi kesan sejuk dan teduh.
Air mancur di depan masjid memang sedang tak menyala, namun suasana tetap terasa tenang dan khidmat.
Nama Tajug Gede Cilodong sendiri sarat makna. Dalam bahasa Sunda, tajug berarti masjid, gede berarti besar, sementara Cilodong adalah nama wilayah yang dulunya dikenal sebagai kawasan prostitusi. Kini, kawasan itu berubah wajah. Berdiri megah sebuah masjid yang tak hanya besar secara fisik, tetapi juga kaya filosofi.

Saya melangkah ke bagian belakang masjid. Di sana, berjajar sembilan bedug dengan ukuran yang membuat saya tertegun.
Diameter bedug paling kecil sekitar satu meter, sementara yang terbesar mencapai lebih dari dua meter. Bedug-bedug itu disimpan di atas dudukan kayu kokoh, dibalut kain merah putih, seolah menjadi simbol kebangsaan sekaligus spiritualitas.
Di dalam masjid, sudah terlihat 9 microphone yang berjajar di sebelah kanan mimbar.
Menjelang waktu azan Jumat, suasana mulai berubah. Sembilan muadzin melantunkan Sholawat Nabi dengan bergitu merdu. Sementara sembilan penabuh bedug sudah berdiri di posisi masing-masing.
Selanjutnya saat memasuki waktu shalat dzuhur, bedug ditabuh secara bersamaan. Dentumannya menggelegar, berpadu dalam irama yang serempak. Getaran suaranya terasa hingga ke dada, menandai masuknya waktu salat Jumat.
Tak lama berselang, saya menyaksikan momen yang menjadi ciri khas Tajug Gede Cilodong. Sembilan muazin berdiri sejajar dan mengumandangkan azan secara bersamaan.
Suaranya terdengar seperti paduan suara, merdu, seimbang, dan menggetarkan. Saya melihat beberapa jamaah terdiam, sebagian lainnya mengangkat ponsel untuk mengabadikan momen langka itu.
Keunikan serba 9 di masjid ini ternyata bukan tanpa alasan. Angka sembilan terinspirasi dari Wali Songo, sembilan wali penyebar agama Islam di Tanah Jawa.
Filosofi itulah yang menjadi ruh Tajug Gede Cilodong, mulai dari 9 muazin hingga 9 bedug yang hanya ditabuh khusus saat salat Jumat.
Ujang Alim Adi Saputra, Plt Ketua DKM Tajug Gede Cilodong Purwakarta menyebut Masjid Tajug Gede Cilodong dibangun pada 2014 dan mulai beroperasi pada 2018.
Masjid tersebut merupakan karya Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang saat itu masih menjabat Bupati Purwakarta.
Konsep masjid tersebut mengikuti ajaran sembilan wali, makanya ada sembilan muazin. Sementara bedug, corongnya model Cirebonan.
Yang menarik, sembilan muazin itu bukan ditunjuk secara langsung. Mereka adalah pemenang lomba azan yang diikuti para santri dari berbagai pondok pesantren di Purwakarta.
“Terpilihlah 11 orang. 9 bertugas jadi muazin utama, 1 untuk bilal dan 1 lagi sebagai cadangan,” ujar Ujang.
Arsitektur Masjid Tajug Gede kental dengan nuansa tradisional. Atapnya berbentuk limas segi empat ala Jawa, empat menara menjulang di sudut-sudut bangunan, dan jendela-jendela kayu bergaya Sunda mengelilingi ruang utama.
Menariknya, masjid ini tidak menggunakan pendingin ruangan. Ukiran kayu pada jendela berfungsi sebagai ventilasi alami. Ditambah langit-langit yang tinggi, udara di dalam terasa sejuk dan nyaman, meski dipenuhi jamaah.
Saat meninggalkan Tajug Gede Cilodong, saya menyadari satu hal. Masjid ini bukan sekadar tempat ibadah. Ia adalah ruang sejarah, simbol perubahan, dan pengingat bahwa harmoni, seperti sembilan suara azan yang bersatu, dapat menghadirkan ketenangan yang sulit dilupakan.