finnews.id – Fenomena toxic positivity sering muncul di lingkungan kerja, terutama di kota besar yang serba cepat. Banyak karyawan merasa lelah dan hampir burnout, namun tetap tersenyum agar terlihat profesional.
Kondisi tersebut muncul karena budaya kerja sering menuntut performa tinggi, bahkan ketika seseorang sedang menghadapi masalah pribadi.
Akhirnya, seseorang memilih untuk menyembunyikan emosinya daripada jujur pada kondisinya sendiri. Karena lingkungan kurang suportif, mereka terpaksa menunjukkan energi positif terus menerus.
Selain itu, tekanan sosial memperparah situasi. Ada anggapan bahwa energi positif wajib muncul setiap saat. Orang merasa salah bila menunjukkan lelah, sedih, atau cemas.
Padahal emosi negatif merupakan bagian alami dari pengalaman manusia. Penyangkalan terhadap emosi hanya memperburuk kondisi mental.
Dengan demikian, mengenali toxic positivity menjadi penting, terutama bagi pekerja urban yang sering berhadapan dengan tuntutan target tanpa henti.
Penyebab Kenapa Fenomena Ini Muncul
Lingkungan kerja mengagungkan produktivitas
Di kantor, produktivitas sering menjadi ukuran nilai seseorang. Karena alasan tersebut, karyawan berusaha tetap terlihat enerjik meskipun sudah hampir burnout.
Ketika seseorang mengungkapkan rasa lelah, respons yang muncul sering berupa kalimat motivasi dangkal. Masyarakat menganggap motivasi tersebut sebagai solusi paling cepat.
Sayangnya, itu justru mengabaikan realitas yang dirasakan.
Budaya positif yang keliru
Beberapa konten self improvement mendorong kamu untuk terus berpikir positif tanpa mempertimbangkan emosi lain.
Konten seperti itu menempatkan seseorang pada ekspektasi tidak manusiawi. Karena itu, banyak orang merasa wajib tersenyum agar terlihat kuat.
Namun, mengabaikan emosi negatif justru merusak mental secara perlahan.
Ketakutan dianggap lemah
Dalam dunia serba kompetitif, mengekspresikan rasa lelah dianggap sebagai tanda kelemahan. Karena itu, banyak orang memilih menyembunyikan emosinya.
Mereka percaya bahwa ekspresi jujur dapat membuat reputasi buruk. Ketakutan tersebut akhirnya menciptakan budaya pura-pura kuat.