Oleh : Dahlan Iskan
Artificial intelligence (AI) tidak beriman. Padahal inti dakwah itu untuk meningkatkan iman. Bagaimana bisa barang yang tidak beriman meningkatkan iman.
Itulah salah satu perdebatan dalam kompetisi bahasa Mandarin antar santri di Atrium Tunjungan Plaza 6 Surabaya Jumat-Sabtu-Minggu kemarin.
“Topik ini terlalu berat,” ujar seorang pengunjung. Tionghoa. Kristen. “Mungkin berat untuk kita. Sudah terlalu tua,” kata saya setengah membela ide itu.
Sedang mereka masih muda. Status mereka masih santri. Debat antar santri harus membawa topik yang cocok untuk masa depan. Bukan masa lalu.
Kata ”santri” sendiri dipilih agar cakupannya lebih luas.
Ternyata benar. Debat ini tidak hanya diikuti oleh santri dari pondok pesantren. Ada pula tim dari SMA Tionghoa, Xin Zhong, Surabaya. Ternyata ada santri yang sekolah di Xinzhong. Rupanya Xinzhong sengaja mengirim siswa yang beragama Islam.
Cucu pertama saya sebenarnya ingin masuk SMA Xin Zhong. Itu setelah dia gagal berangkat ke SMA di Hangzhou gara-gara Covid-19. Dia mundur karena ada aturan di Xin Zhong: waktu di sekolah tidak boleh mengenakan simbol agama apa pun. Termasuk kalung salib bagi yang Kristen maupun jilbab bagi yang Islam. Sedang peserta debat dari Xin Zhong ini mengenakan jilbab karena di luar sekolah.
Pun dari Unesa ”dulu IKIP” Surabaya. Juga Unes ”dulu IKIP” Semarang dan UM “dulu IKIP” Malang. Mereka bisa kirim peserta. Santri yang dari Unesa mengalahkan tim santri dari pesantren Al Majidiyah, Pamekasan, Madura. Di semifinal. Nilainya hanya selisih 0,2.
Di final tadi malam mereka berhadapan dengan tim lain dari Al Majidiyah –yang di semifinal mengalahkan tim santri dari Unes, Semarang. Ketika naskah ini saya tulis finalnya sedang berlangsung.
Al Majidiyah tergolong baru dibanding pesantren lain di Madura seperti Banyuanyar dan Bata-bata. Tapi mereka masih satu rumpun keluarga –semua keturunan almarhum Kiai Majid. Santrinya sekitar 4.000 orang –bandingkan dengan dua terdahulu yang masing-masing sekitar 10.000.