finnews.id – Tim kuasa hukum Laksda TNI (Purn) Leonardi angkat bicara terkait penetapan status tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 Bujur Timur di Kementerian Pertahanan (Kemhan) oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Leonardi, yang menjabat sebagai Kepala Badan Sarana Pertahanan sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemhan pada 2016, disebut menjadi korban dari dinamika politik internal dan eksternal proyek tersebut.
“Klien kami hanya dijadikan kambing hitam,” tegas Rinto Maha, kuasa hukum Leonardi dari Lazzaro Law Firm, dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta Pusat, Jumat (3/10/2025).
Menurutnya, Leonardi tak memiliki kewenangan untuk menunjuk langsung penyedia proyek satelit, sebagaimana diatur dalam Permenhan Nomor 17 Tahun 2014 dan Permenhan Nomor 14 Tahun 2017.
Penunjukan Penyedia Dianggap Bukan Wewenang Leonardi
Rinto menjelaskan, proyek satelit yang melibatkan PT Navayo sebagai penyedia merupakan subkontrak dalam kerja sama dengan Airbus.
Penunjukan langsung, menurutnya, dilakukan oleh Menteri Pertahanan saat itu, Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu.
“Pengadaan sistem satelit ini bersifat tertutup karena berkaitan dengan keamanan nasional, dan seluruh prosesnya dilaporkan dalam rapat terbatas yang dihadiri Presiden Jokowi, Menhan, Sekjen Kemhan, dan sejumlah menteri lainnya,” jelasnya.
Ia menambahkan, kontrak senilai USD 34,1 juta ditandatangani pada 12 Oktober 2016, setelah mendapat persetujuan lisan dari Sekjen Kemhan pada 7 Oktober dan disposisi tertulis Menhan pada 20 Oktober 2016.
Kerugian Negara Dipertanyakan
Mengenai audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyebut negara merugi USD 21,38 juta, Rinto menekankan bahwa hingga kini belum ada pembayaran dilakukan kepada Navayo.
Berdasarkan Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016, katanya, kerugian negara harus bersifat nyata dan aktual.
“Ini bukan kerugian yang sudah terjadi, melainkan estimasi. Maka tidak bisa serta-merta dijadikan dasar pidana korupsi,” ucapnya.