finnews.id – Amerika Serikat melalui badan antariksa nasionalnya, NASA, dikabarkan tengah menyiapkan langkah besar di luar angkasa: membangun reaktor nuklir di permukaan Bulan. Upaya ini menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk mempertahankan dominasi ruang angkasa, di tengah ketatnya persaingan global dengan China dan Rusia.
Berdasarkan dokumen internal yang dilaporkan oleh Politico, NASA membuka peluang bagi sektor swasta untuk ikut ambil bagian dalam proyek ambisius tersebut. Targetnya adalah membangun reaktor berkekuatan 100 kilowatt yang akan menjadi sumber energi utama bagi misi jangka panjang di Bulan, termasuk misi berawak di masa mendatang.
“Ini tentang memenangkan perlombaan antariksa kedua,” ujar seorang pejabat senior NASA kepada Politico. Ia berbicara secara anonim.
NASA disebut telah mengeluarkan instruksi internal untuk segera menunjuk pemimpin program serta memulai konsultasi industri dalam waktu 60 hari. Langkah ini dinilai sebagai percepatan signifikan dalam proyek eksplorasi bulan yang kian strategis.
Reaktor tersebut direncanakan diluncurkan pada 2030, bertepatan dengan momen bersejarah yang juga ditargetkan China, yakni pendaratan astronot pertamanya di Bulan. Artinya, dekade ini menjadi penentu dalam babak baru persaingan antariksa global.
Sebelumnya, NASA memang telah mendukung pengembangan reaktor yang lebih kecil, yakni berkapasitas 40 kilowatt. Namun, proyek terbaru ini menandai loncatan besar baik dari sisi kapasitas daya maupun tenggat waktu peluncuran.
Tak hanya sebagai sumber energi, kehadiran reaktor nuklir ini juga memiliki dimensi geopolitik yang kental. Dokumen yang sama mengingatkan bahwa negara pertama yang sukses membangun reaktor nuklir di Bulan bisa saja menetapkan zona eksklusif, yang berisiko membatasi akses negara lain terhadap wilayah tertentu di satelit alami Bumi itu.
Namun di balik ambisi besar tersebut, muncul kekhawatiran soal pendanaan. Pemerintahan Trump sebelumnya sempat mengusulkan pemangkasan anggaran NASA secara signifikan – dari USD 24,8 miliar (sekitar Rp406,3 triliun) menjadi USD 18,8 miliar (sekitar Rp308,2 triliun). Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius: dari mana dana untuk proyek reaktor nuklir ini akan berasal, dan bagaimana dampaknya terhadap pembiayaan program ilmu pengetahuan antariksa yang lebih konvensional?