Sesaat kemudian kami pun sudah masuk mobil Arif: Wuling. Saya akan ikut saja ke kantornya di kota Bungku –ibu kota kabupaten Morowali.
Keluar dari bandara mobil melewati jalan kampung. Jalan baru yang khusus menuju bandara belum selesai dikerjakan. Kampung ini mengesankan: rumah-rumahnya baik –untuk ukuran kampung. Umumnya seperti baru dipugar. Dalam hati saya berpikir: ini pasti dampak positif hilirisasi nikel di Morowali.
Baru 10 menit meninggalkan bandara saya dapat WA dari teman lama di Palu: Kamil Badrun. Saya memang berkabar kepadanya bahwa hari itu ke Morowali.
“Jangan meninggalkan bandara. Suami saya akan jemput ke bandara,” ujar Mega, teman Kamil Badrun.
Mega dulunya wartawati di Poso. Nama aslinyi: Erni Johan Pau. Dia dapat nama Mega sejak meliput kedatangan Presiden Megawati ke Poso. Saat terjadi keributan Erni terpapar gas air mata. Sampai sakit.
Maka saya minta ke Arif untuk diturunkan di pinggir jalan. Untuk dijemput suami Mega. Ternyata saya diturunkan di sebuah warung ikan bakar. Sekalian saja makan siang: tepat jam 12.00.
Itu sesuai dengan cita-cita: di Morowali harus makan ikan bakar. Juga woku. Ikannya sangat segar. Apalagi warung itu di dekat kampung nelayan.
“Sebaiknya saya harus ke mana?” tanya saya usai makan ikan bakar.
“Tetap ke Bungku, lihat-lihat Bungku,” ujar suami Mega.
“Setuju,” jawab saya. Kami berpisah dengan Arif meski tujuan sama-sama ke Bungku.
Dari bandara ke Bungku ternyata jauh sekali: 1,5 jam. Melintasi jalan Trans Sulawesi. Menyusuri pantai.
Di warung ikan bakar tadi saya banyak bertanya soal kehidupan orang kampung dekat bandara. Kenapa begitu sejahtera. Karena nikel?
“Bukan Pak,” jawab si warung.
“Lalu karena apa?”
“Kelapa sawit,” jawabnya.
Orang-orang di kampung itu rata-rata punya kebun sawit antara 5 sampai 10 hektare. Makanya di sepanjang jalan saya melihat banyak kebun sawit.
Ternyata justru sawit lebih dulu mewabah di Morowali –jauh sebelum nikel.
Morowali ternyata tidak harus identik dengan nikel. Mungkin saja sawit di atas nikel di bawah. (Dahlan Iskan)