Mereka berlari mengejar penonton muda (terutama perempuan) sambil mengayunkan Rute (cambuk ranting) atau menaburkan abu. Meski terlihat menakutkan, ada aturan ketat, cambukan hanya boleh mengenai paha atau bokong, tidak wajah, dan anak-anak kecil biasanya dilindungi orang tua.
Bagi masyarakat lokal, Krampusnacht bukan sekadar hiburan horor. Ini adalah ritual pelepasan stres menjelang akhir tahun, pengingat moral bahwa kebaikan dan kejahatan selalu berdampingan, serta cara mempertahankan identitas regional di tengah globalisasi Natal ala Amerika.
Banyak keluarga Tyrol bahkan mewariskan topeng Krampus secara turun-temurun, sama seperti kita mewariskan resep kue keluarga.
Di era media sosial, Krampus justru semakin mendunia. Video parade yang mengerikan namun estetis viral setiap tahun, menarik wisatawan dari Amerika Serikat, Jepang, hingga Indonesia.
Beberapa tur operator bahkan menawarkan paket “Dark Side of Christmas” khusus untuk menyaksikan Krampusnacht di beberapa kota dalam satu minggu.
Meski penuh teriakan dan cambukan, malam itu selalu berakhir dengan cara yang sama: para Krampus melepas topeng, wajah mereka penuh keringat dan tawa, lalu duduk bersama penonton di kedai minum Glühwein (anggur panas berbumbu).
Di situlah sisi manusiawi tradisi ini terlihat, di balik topeng setan, mereka adalah ayah, anak, dan tetangga yang ingin menjaga warisan leluhur tetap hidup.
Krampusnacht membuktikan bahwa Natal tidak selalu tentang kedamaian dan cahaya. Di pegunungan Alpen, Natal juga punya gigi, tanduk, dan cambuk—dan justru itulah yang membuatnya tak pernah dilupakan.