finnews.id – KTT Iklim COP30 menjadi fokus utama percakapan global tentang masa depan iklim, tetapi pertemuan besar ini justru berakhir tanpa kesepakatan yang tegas untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil. Banyak negara datang dengan harapan tinggi, terutama lebih dari 80 negara yang ingin mendorong komitmen jelas untuk phase-out minyak, batu bara, dan gas. Namun, hasil akhirnya membuat banyak pihak kecewa karena bahasa final hanya meminta negara mempercepat aksi secara sukarela, bukan komitmen bersama.
Sejak awal, tuntutan penghentian bahan bakar fosil sudah menjadi isu utama yang muncul di ruang negosiasi. Banyak delegasi merasa momentum sejarah terbuka karena suhu global sudah mendekati ambang batas 1.5°C yang dikenal sebagai titik bahaya. Namun, negara produsen minyak dan gas justru menolak proposal itu dan memilih mempertahankan hak eksploitasi energi fosil demi pertumbuhan ekonomi mereka. Karena itu, harapan untuk melihat KTT Iklim COP30 menghasilkan keputusan kuat berubah menjadi frustrasi terbuka.
Namun, meskipun banyak delegasi kecewa, negosiasi tetap berjalan dengan intensitas tinggi. Delegasi berdebat sepanjang malam selama lebih dari dua belas jam, tetapi hasil final tetap tidak membawa kata eksplisit penghentian penggunaan minyak, gas, atau batu bara. Itu berarti COP30 gagal melahirkan keputusan eksplisit tentang penghentian bahan bakar fosil meskipun tekanan global semakin meningkat.
Dinamika Politik di Balik Keputusan
Pertemuan ini memperlihatkan pertempuran kepentingan antara negara yang mendukung transisi cepat energi bersih dan negara produsen energi fosil. Uni Eropa, Inggris, Kolombia, dan beberapa negara kecil yang rentan terhadap perubahan iklim terus mendorong komitmen jelas. Sebaliknya, negara produsen minyak seperti Arab Saudi, Rusia, dan beberapa negara Teluk justru mempertahankan posisinya dan menolak bahasa keras tentang fossil fuel.
Salah satu momen yang menegangkan terjadi ketika perwakilan Kolombia menyampaikan kritik langsung terhadap proses sidang. Dia menegaskan bahwa lebih dari 75% emisi gas rumah kaca global berasal dari bahan bakar fosil. Dia juga meminta agar negosiasi mulai berbicara terus terang mengenai akar masalah.
Namun, situasi semakin rumit karena Amerika Serikat tidak hadir dalam pertemuan ini. Ketidakhadiran Amerika menciptakan kekosongan besar dalam dinamika negosiasi karena negara itu biasanya menjadi penyeimbang dalam tekanan politik global. Tanpa keikutsertaan mereka, perundingan kehilangan salah satu kekuatan diplomatik yang biasanya membantu mendorong komitmen transisi energi.