Maka, kata Kossay, perlu orang seperti Wyn Sargent. Yakni yang mau tinggal bersama suku asli. Ikut memahami budaya lokal, makan bersama, tinggal bersama. “Seperti yang dilakukan Elizabeth Meat di Samoa,” ujar Kossay.
Yang dilakukan Wyn di Lembah Baliem lebih dari itu: sampai mengawini kepala sukunya. Sebagai istri kepala suku Wyn merasa akan bisa berbuat lebih banyak lagi.
Tapi kehebohan perkawinan itu sangat mendunia. Media asing menamakannya “Wedding of the Year 1973”. Sayang belum ada Indosiar saat itu –bisa live berhari-hari.
Akhirnya Wyn Sargent dideportasi. Alasan yang resmi tidak terlalu jelas, tapi banyak aspek yang dispekulasikan di media. Salah satunya ada yang mengaitkannya dengan penelitian sperma. Yakni untuk mencari hubungan ras antara orang Papua dan orang Afrika.
Kesimpulan lain Kossay adalah: Wyn Sargent bukan seorang antropolog. Dia seorang jurnalis yang melakukan kegiatan jurnalisme dengan pendekatan antropologi.
Kini semakin banyak antropolog di Indonesia. Saya juga bertemu Prof Dr Mambraku. Ia antropolog lulusan Florida, Amerika Serikat. Ia kelahiran Raja Ampat tapi tinggal di Jayapura.
Prof Mambraku agak unik: kulitnya putih. Mengapa ada orang Papua kulitnya putih? “Banyak yang bertanya begitu. Tapi saya sendiri tidak tahu. Semua adik saya kulitnya sehitam baju bapak ini,” katanya.
Obahorok pernah dipanggil Presiden Soeharto ke istana di Jakarta. Tetap pakai koteka. Makannya pun tetap talas Wamena. Saya sudah mencoba talasnya –belum kotekanya. (Dahlan Iskan)