Tentu kami khawatir terperangkap hujan. Sungai-sungai itu tidak akan bisa dilewati. Harus tunggu hujan reda. Itu pun belum cukup. Harus tunggu airnya surut.
Sepanjang jalan saya ngobrol dengan Pak Wolter. Pemkab Yahukimo terlalu jauh untuk memperhatikan jalan di wilayahnya yang amat jauh. Pemekaran kabupaten menjadi pilihan masyarakat setempat.
Saya mendarat di Wamena sudah pukul 13.00. Kalau harus makan siang bisa bahaya: keduluan hujan. Napak tilas bisa gagal. Maka, dari bandara Jayapura, sambil menunggu pesawat yang delay, saya telepon Pak Wolter: agar membeli talas kukus. Untuk makan siang –sambil menikmati perjalanan ke Kurima.
Yang juga beda adalah banyaknya penerbangan Jayapura-Wamena. Banyak sekali. Trigana Air saja bisa enam kali sehari. Pakai pesawat Boeing 737 pula. Seingat saya Trigana itu spesialis operator pesawat-pesawat kecil. Ternyata kini sudah punya pesawat-pesawat Boeing 737.
Tentu saya pilih naik Trigana –kalau tahu sebelumnya. Di benak saya nama Wing Air lebih populer. Padahal pesawatnya pakai baling-baling: ATR. Perlu satu jam penerbangan. Padahal dengan Trigana hanya setengah jam. Apalagi setelah tahu penerbangan Wing Air ini mundur dua jam.
Delapan kali penerbangan Jayapura-Wamena menunjukkan betapa majunya ekonomi kota Wamena. Mungkin karena terutama sejak ada provinsi Papua Pegunungan yang Wamena menjadi ibu kotanya.
Pedalaman Papua lebih aman dari yang saya bayangkan. (Dahlan Iskan)