Prof Asep mungkin bukan pemikir keagamaan tingkat tinggi seperti beberapa rektor Syahida sebelumnya –Prof Harun Nasution, Prof Azyumardi Azra, Prof Komarudin Hidayat. Tapi ia bertekad bisa membawa UIN Syahida ke jenjang PTNBH.
Menurut Prof Asep ada tiga UIN yang bisa berangkat bersama-sama ke PTNBH –bersama UIN Sunan Ampel Surabaya dan UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang. Tantangannya hanya satu: bisa dianggap terlalu komersial. Maka UIN Syahida lagi merumuskan bagaimana membuat aspek ibadah dan bisnis bisa seimbang.
Tapi itu dialami tidak hanya oleh UIN. Semua lembaga pendidikan Islam menghadapi tantangan serupa. Pun di lembaga pendidikan Kristen. Tapi realitas di masyarakat memang sudah berubah. Sekolah yang mahal justru dikejar –dengan alasan mutu. Mereka punya cukup biaya untuk meningkatkan kualitas fisik, mutu pendidikannya sampai ke mampu mengadakan guru terbaik.
“Banyak sekolah Islam yang karena diniatkan ibadah tidak berani menarik biaya tinggi. Akibatnya niat ibadah itu jatuh ke dosa: gurunya menderita,” kata orang yang Anda bisa menduga siapa yang mengucapkan itu.
Menyeimbangkan ibadah dan bisnis memang tetap harus diupayakan. Kalau perlu dengan menetapkan persentase tertentu dari hasil ”bisnisnya” untuk beasiswa: khusus bagi pendidikan keluarga miskin. Kuliah gratis.
Realitasnya pergeseran sudah terjadi antara jurusan ”dunia” dan prodi ”jurusan akhirat”. Mahasiswa UIN jurusan duniawi kian menggeser jumlah mahasiswa jurusan ukhrowi. Yang terakhir itu kian didominasi mahasiswa dari kalangan kurang mampu dari daerah-daerah. Sedang mahasiswa dari perkotaan kian memilih prodi non agama.
Saya harus mengakhiri diskusi intens pagi itu. Ada jadwal berikutnya: bertemu Menteri Pertahanan Jenderal Sjafrie Syamsuddin. Dari Ciputat ke Merdeka Barat tidaklah bisa diprediksi seperti hitungan prodi matematika. Rencana makan pagi pun batal. Untung saya masih menyimpan singkong rebus beberapa potong.(Dahlan Iskan)