Dampak Media dan Pop Culture
Hubungan unik ini semakin terkenal odi mata dunia setelah film dokumenter Kedi (2016) rilis dan menjadi viral. Dokumenter tersebut menyoroti beberapa kucing jalanan bersama manusia yang merawat mereka. Perilaku tulus masyarakat menjadi daya tarik kuat karena menunjukkan hubungan empatik antara manusia dan hewan di tengah kota besar.
Setelah itu, Istanbul mulai dikenal bukan hanya karena Hagia Sophia, Bosphorus, atau Grand Bazaar, tetapi juga karena kucing-kucing yang santai dan bebas berkeliaran.
Tantangan dan Upaya Perawatan
Walaupun fenomenanya terlihat romantis, populasi besar kucing juga menimbulkan tantangan. Populasi terus bertambah karena tidak semua kucing mendapat program sterilisasi. Selain itu, beberapa kucing mengalami masalah kesehatan akibat lingkungan perkotaan.
Namun, pemerintah kota bekerja sama dengan organisasi lokal menyediakan layanan vaksin, sterilisasi, serta tempat perlindungan. Banyak relawan melakukan pengawasan dan perawatan dasar untuk memastikan kesejahteraan kucing tetap terjaga.
Daya Tarik Wisata dan Identitas Kota
Sebagai Kota Seribu Kucing, Istanbul menawarkan pengalaman menarik bagi wisatawan. Banyak orang mengambil foto, memberi makan, atau hanya menikmati momen ketika kucing duduk santai di bangku taman sambil mengamati manusia. Fenomena ini memberi kesan hangat, humanis, dan tenang, berbeda dengan gambaran kota megapolitan yang sering orang anggap keras dan penuh tekanan.
Pada akhirnya, hubungan ini berkembang menjadi bagian identitas budaya yang memperkuat citra kota di mata dunia.
Penutup
Kota Seribu Kucing bukan sekadar julukan. Istanbul menunjukkan bahwa hewan bisa hidup berdampingan dengan manusia tanpa batas kepemilikan, tanpa penaklukan, dan tanpa ekspektasi. Interaksi ini hadir secara alami karena budaya, sejarah, serta rasa empati yang terpelihara dari generasi ke generasi. Melalui hubungan tersebut, Istanbul memberi pelajaran sederhana namun bermakna: kota bisa tumbuh dan maju tanpa kehilangan rasa kemanusiaan di dalamnya.