finnews.id – Kasus “rahim copot” yang belakangan ramai dibicarakan publik membuat banyak wanita merasa cemas. Istilah medisnya adalah inversio uteri, kondisi ketika rahim terlepas dari posisinya akibat penanganan yang tidak tepat saat persalinan.
Dokter spesialis obstetri dan ginekologi lulusan Universitas Indonesia, dr. Amarylis Febrina Choirin Nisa Fathoni, Sp.OG, IBCLC, menjelaskan secara gamblang bagaimana kondisi ini memengaruhi tubuh wanita.
1. Tidak Bisa Hamil Lagi
Dampak paling besar dan langsung terasa adalah hilangnya kemampuan untuk hamil.
Menurut dr. Nisa, rahim adalah tempat embrio berkembang setelah pembuahan terjadi. Tanpa rahim, sperma dan sel telur memang masih bisa bertemu di tuba falopi, namun embrio tidak memiliki tempat untuk tumbuh.
“Kalau rahimnya enggak ada, embrio mau jalan ke mana?” jelasnya.
Meskipun secara teori rahim bisa “disambung”, prosedurnya sangat berisiko. Pembuluh darah yang rumit dan jaringan vital sering kali membuat penyambungan tersebut hampir tidak mungkin dilakukan dengan aman.
2. Menstruasi Tidak Bisa Terjadi Lagi
Wanita yang mengalami rahim copot tidak akan mengalami menstruasi seperti sebelumnya.
Sebab, darah menstruasi berasal dari lapisan endometrium pada rahim. Bila rahim tidak ada, proses peluruhan endometrium otomatis tidak terjadi.
Namun demikian, ovarium tetap bekerja:
- tubuh tetap mengalami ovulasi,
- hormon masih berfungsi normal,
- gejala PMS mungkin tetap terasa,
- tapi darah tidak keluar karena tidak ada rahim sebagai tempat menampung endometrium.
3. Risiko Terjadi Karena Penanganan Persalinan Tidak Tepat
Dokter Nisa menjelaskan, rahim sebenarnya ditopang oleh banyak struktur kuat: ligamentum dan jaringan penyangga.
Tetapi dalam situasi tertentu, penanganan persalinan yang keliru, misalnya menarik plasenta terlalu cepat atau prosedur yang tidak sesuai standar, dapat menyebabkan inversio uteri — kondisi darurat yang dapat mengancam jiwa.
Karena itu, persalinan harus dilakukan oleh tenaga medis kompeten yang memahami anatomi dan prosedur yang benar.