finnews.id – Aktivis serbu COP30 menjadi sorotan global karena ribuan demonstran bergerak ke gerbang konferensi iklim di Belém, Brasil. Gerakan ini menciptakan suasana tegang karena para peserta membawa tiga peti mati bertuliskan Oil, Coal, dan Gas. Sementara itu, dua figur grim reaper mengikuti pawai tersebut diiringi suara terompet, drum, dan sound system besar. Banyak orang menilai aksi ini bukan sekadar protes biasa, tetapi simbol kemarahan sosial terhadap lambatnya perubahan kebijakan iklim.
Aksi besar ini mengguncang momen COP30 karena pihak keamanan meningkatkan penjagaan. Selain itu, banyak aktivis menilai COP terus menghasilkan janji tanpa realisasi nyata. Mereka merasa waktu sudah habis, planet semakin panas, sementara industri energi fosil tetap mendapatkan ruang tawar dalam negosiasi.
Suasana Demonstrasi di Belém
Ribuan pengunjuk rasa mulai bergerak sejak pagi dengan nyanyian “Free the Amazon”. Banyak peserta menggunakan kostum teatrikal, masker, dan membawa simbol lingkungan. Kelompok indigenous memegang poster bertuliskan “the answer is us”, menunjukkan bagaimana komunitas mereka terdampak langsung oleh penggundulan hutan dan eksploitasi sumber daya.
Selain itu, kelompok teater Hydra Dance dari Federal University of Pará tampil dengan aksi dramatis pemakaman energi fosil. Salah satu anggotanya, Tuga Cíntia, menyebut momen ini sebagai batas terakhir. Ia menyampaikan bahwa manusia tidak bisa terus berdebat di ruang konferensi tanpa tindakan nyata di lapangan.
Suara Indigenous dan Komunitas Rentan
Selama demonstrasi berlangsung, banyak suara datang dari komunitas terpencil yang selama ini menjadi garis depan dampak perubahan iklim. Brianna Fruean, aktivis muda dari Samoa, menyebut demonstrasi ini sebagai bentuk solidaritas global. Ia menyampaikan bahwa negara kepulauan seperti Samoa sudah merasakan naiknya permukaan air laut dan kejadian cuaca ekstrem.
Selain itu, banyak poster menuntut “demarcation now”, yaitu pengakuan legal atas tanah masyarakat adat. Mereka meyakini bahwa perlindungan hutan hanya dapat berhasil jika indigenous memiliki akses dan hak penuh atas wilayah tradisional mereka. Para ahli mendukung gagasan ini karena data menunjukkan komunitas adat menjaga hutan lebih baik dibandingkan kebijakan negara.