Alasan utama penolakannya terhadap lamaran tokoh-tokoh besar tersebut adalah karena ia menentang praktik poligami.
Meskipun Soekarno tertarik padanya dan sering mengirim surat, Gusti Nurul menolak karena Soekarno sudah beristri dan ia tidak ingin dimadu.
Begitu pula terhadap Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Ia juga menolak pinangan Sultan Yogyakarta, salah satunya karena alasan yang sama, yaitu tidak ingin menjadi bagian dari poligami yang umum di kalangan bangsawan saat itu.
Kisahnya melambangkan perjuangan cinta sejati melawan kepentingan politik dan kekuasaan. Gusti Nurul memilih untuk menikah dengan seorang perwira militer R.M. Soejarso Soerjosoejarso murni atas dasar cinta dan pilihannya sendiri, bukan karena status atau titah Keraton.
Tindakan ini merupakan “pemberontakan” halus yang menunjukkan kemanusiaan di balik kebangsawanan.
Kisah-kisah ini cukup menarik buatku, betapa budaya poligami di kerajaan sebenarnya telah mendapatkan penolakan keras dari kalangan putri keraton saat itu.
Setelah sejenak hanyut oleh kisah-kisah puteri keraton, kini kaki melangkah menuju Ruang Seni Tari dan Gamelan. Di ruangan ini, koleksi busana tari klasik dan perangkat gamelan dipamerkan. Alat-alat musik tradisional merupakan hibah dari Kasultanan Yogyakarta tersebut dihormati sebagai simbol kesenian yang harus terus dilestarikan.

Setelah hampir dua jam terhanyut dalam kisah Mataram, perjalanan tur berakhir. Pemandu mengucapkan salam perpisahan, dan aku merasa pengetahuan tentang Jawa sedikit bertambah.
Aku berjalan menuju bangunan kolonial di kompleks museum, Restoran Beukenhof. Bangunan ini adalah peninggalan Belanda yang dipertahankan keasliannya, dengan suasana yang elegan dan tenang.
Beukenhof (Hutan Beech) menyajikan menu Eropa/Belanda klasik yang berbeda dengan makanan khas Jogja. Aku memesan Cheesy Kroketten dan secangkir teh panas.
Duduk di kursi kayu tua dengan pemandangan taman yang rimbun, aku merefleksikan semua cerita yang baru kudengar. Beukenhof berfungsi sebagai jembatan yang membawa aku kembali dari masa lalu bangsawan Mataram ke realitas masa kini, tetapi dengan hati yang lebih kaya.