Di ruang ini, terdapat terdapat kumpulan surat, puisi dan syair yang ditulis tangan Tineke sendiri. Ada pula surat-surat balasan dari kerabat dan sahabatnya.
Aku melihat surat-surat pribadi dan lukisan itu. Kisah romansa yang tragis juga pilu dan menyentuh hati. Beliau adalah contoh nyata bahwa di balik keanggunan, bangsawan pun punya hati yang patah dan perjuangan hidup yang berat.
Cerita itu benar-benar menghidupkan karakter Tineke di benakku. Kisahnya tidak berfokus pada penolakan, melainkan pada kesedihan, kerinduan, dan penderitaan batin yang dialami seorang permaisuri yang harus menerima poligami.
Melalui surat-suratnya, Museum menunjukkan sisi rentan dan manusiawi dari seorang bangsawan. Kisah Tineke menjadi pengingat bahwa di balik gelar dan kemewahan, ia hanyalah seorang wanita yang juga merasakan kesepian, patah hati, dan kesulitan hidup yang tersembunyi.
Kehadiran Selir atau Garwa Ampil menjadi sumber penderitaan batin, kecemburuan, dan kesepian. Tineke sering kali merasa terabaikan atau merindukan perhatian penuh dari suaminya.
Di balik busana kebesaran dan senyum yang harus selalu ditunjukkan di publik, ia menyimpan beban mental dan emosional seorang wanita biasa.
Tidak cuma aku, para pengunjung mengaku bagian ini adalah bagian yang membuat merinding dan haru, karena terasa begitu pribadi dan jujur, seperti membaca hati seseorang di masa lalu. Curahan hati Tineke jadi salah satu daya Tarik paling ikoni di Ullen Sentalu.
Selain kisah Tineke, ada pula Gusti Raden Ayu Siti Nurul Kamaril Ngarasati Kusumawardhania atau akrab dengan panggilan Gusti Nurul. Berbeda dari kesedihan Tineke, Gusti Nurul adalah pemberontakan cinta di keluarga kerajaan.
Gusti Nurul adalah Putri dari Sri Susuhunan Pakubuwono X dari Kasunanan Surakarta (salah satu pecahan Kerajaan Mataram). Beliau adalah ikon kecantikan, kecerdasan, dan modernitas di masanya.
Gusti Nurul dikenal karena sikapnya yang sangat modern dan menentang tradisi perjodohan yang kaku di Keraton. Beliau tegas menolak pinangan dari tokoh-tokoh penting di Indonesia, termasuk Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta dan Presiden Soekarno.