Dinginnya lorong bawah tanah Museum Ullen Sentalu ini, terkuak kisah sejati para bangsawan. Patah hati Tineke yang tersembunyi di balik kemewahan, dan keberanian Gusti Nurul menolak cinta demi idealismenya. Sisi paling manusiawi dari Keraton Mataram yang tak pernah terekspos.
————————————————-
MENCARI tempat wisata bukanlah hanya soal spot foto. Seperti saat memasuki lorong gelap Museum Ullen Sentalu di Kaliurang, Sleman, Yogyakarta, aku justru dilarang mengambil gambar.
Terletak di kawasan sejuk Kawasan Boyong KM 25 Kaliurang, Sleman, museum ini menawarkan lebih dari sekadar pajangan benda kuno. Ia menawarkan sebuah perjalanan naratif ke jantung kebudayaan Mataram.
Sebelum memulai perjalanan, aku mencari tahu latar belakang museum ini. Ullen Sentalu adalah akronim dari ‘Ulating Blencong Sejatine Tataraning Lumaku‘ yang berarti Nyala lampu blencong petunjuk langkah kehidupan.
Museum ini didirikan oleh Yayasan Ulating Blencong dan diresmikan pada 1 Maret 1994. Uniknya, museum ini adalah buah dari inisiatif pribadi keluarga Haryono atau K.P. Dr. Samuel J. Haryono Wedyodiningrat, yang memiliki koneksi dan perhatian mendalam terhadap budaya Jawa.
Tujuannya jelas, yaitu ingin melestarikan dan mendokumentasikan kebudayaan Jawa yang kian tergerus oleh modernisasi, khususnya kisah-kisah humanis dari bangsawan Mataram, bukan sekadar artefak formal.
Perjalananku dari pusat Kota Yogyakarta memakan waktu sekitar 45 menit hingga 1 jam, dengan jarak tempuh kurang lebih 25-30 kilometer ke utara.
Saat aku tiba di kawasan Kaliurang, udara dingin yang menusuk kulit menjadi penyambut kontras dengan panasnya Yogyakarta kota akhir-akhir ini.
Arsitektur pintu masuk museum yang terbuat dari batu hitam tebal seolah menjadi pembatas antara dunia modern dan lorong waktu yang akan aku masuki.
Di loket, aku langsung membeli tiket, ada sejumlah orang juga di sana. Aku ikut tergabung dengan rombongan itu. Tur di sini bersifat wajib berpandu, sebuah sistem yang justru menjadi kunci keberhasilan pengalaman di Ullen Sentalu.