finnews.id – Dampak kenaikan suhu 2,6°C kini menjadi perhatian utama para ilmuwan karena konsekuensinya bisa mengubah cara hidup manusia di seluruh dunia. Dalam beberapa dekade terakhir, suhu bumi telah meningkat sekitar 1,3°C akibat aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan. Jika tren ini terus berlanjut, kondisi Bumi akan memasuki masa penuh ketidakstabilan iklim yang memengaruhi cuaca, pangan, dan kesehatan. Maka dari itu, memahami skala dampak kenaikan suhu menjadi penting agar kebijakan mitigasi dapat diarahkan secara tepat dan berkelanjutan.
Perubahan Iklim dan Titik Kritis
Kenaikan suhu global hingga 2,6°C diperkirakan akan memicu titik-titik kritis iklim atau tipping points, yaitu kondisi ketika perubahan yang terjadi tidak dapat dikembalikan ke keadaan semula. Misalnya, sirkulasi arus Atlantik yang menjaga kestabilan iklim Eropa dapat melemah atau bahkan berhenti. Hal ini akan memicu musim dingin ekstrem di satu wilayah dan kekeringan parah di wilayah lain. Selain itu, lapisan es di Greenland dan Antarktika bisa mencair secara permanen, memicu kenaikan permukaan laut yang mengancam kota-kota pesisir besar di dunia.
Tidak hanya itu, hutan hujan Amazon juga berisiko berubah menjadi sabana akibat kekeringan dan kebakaran berulang. Hilangnya fungsi hutan sebagai penyerap karbon akan mempercepat pemanasan global. Sementara itu, terumbu karang di lautan tropis yang selama ini menjadi tempat hidup bagi ribuan spesies laut akan punah karena suhu air yang terlalu tinggi. Semua ini menunjukkan bahwa dampak kenaikan suhu tidak hanya soal angka, melainkan ancaman terhadap keseimbangan ekosistem bumi.
Dampak Terhadap Pertanian dan Ketahanan Pangan
Sektor pertanian termasuk yang paling merasakan konsekuensi langsung dari pemanasan global. Kenaikan suhu menyebabkan perubahan pola hujan dan memperpanjang musim kering di banyak wilayah. Petani di daerah subtropis menghadapi risiko gagal panen karena gelombang panas yang semakin sering, sedangkan di Asia dan Afrika, sistem pertanian tradisional terganggu oleh monsun yang tidak menentu. Akibatnya, produksi pangan dunia bisa menurun hingga 10 persen pada pertengahan abad ini.
Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan krisis pangan global, terutama di negara-negara berkembang yang bergantung pada impor gandum, jagung, dan beras. Ketika pasokan berkurang dan harga pangan naik, ketimpangan sosial dapat meningkat. Inilah sebabnya mengapa upaya mitigasi dan adaptasi di sektor pertanian sangat penting untuk menghindari kerawanan pangan yang meluas akibat dampak kenaikan suhu.