Gian juga menyoroti unsur apropriasi budaya, di mana unsur sakral dijadikan bahan hiburan tanpa izin atau konteks yang tepat.
“Ia telah membawa keluar unsur sakral dari ruangnya dan menjadikannya konsumsi publik. Itu bentuk pengambilalihan otoritas naratif atas budaya yang bukan miliknya,” tambahnya.
Selain itu, Gian menilai tindakan Pandji bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang menegaskan perlindungan terhadap ekspresi dan tradisi budaya Indonesia.
Komunitas Toraja Tuntut Klarifikasi
Berbagai komunitas adat, pemerhati budaya, dan tokoh masyarakat Toraja kini menyerukan agar Pandji segera memberikan klarifikasi dan permintaan maaf resmi.
Bagi masyarakat Toraja, Rambu Solo’ bukan hanya ritual, melainkan bentuk penghormatan dan wujud gotong royong sosial yang sarat makna spiritual.
“Tradisi kami adalah warisan leluhur yang harus dihormati, bukan dijadikan bahan lelucon untuk hiburan,” ujar Andika Manglo Barani, tokoh pemuda Toraja.
Desakan permintaan maaf terus bergulir di berbagai platform media sosial dengan tagar #RespectTorajaCulture dan #PandjiMintaMaaf, menandakan kemarahan publik terhadap isi materi komedi tersebut.
Belum Ada Tanggapan dari Pandji
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Pandji Pragiwaksono belum memberikan tanggapan resmi terkait video dan desakan permintaan maaf tersebut.
Publik menunggu klarifikasi langsung dari sang komika untuk menjernihkan persoalan dan menghormati keberagaman budaya Nusantara.
Analisis Budaya: Batas Etika dalam Komedi
Fenomena ini kembali membuka diskusi tentang batas kebebasan berekspresi dalam dunia komedi, terutama saat menyentuh isu budaya dan keyakinan lokal.
Pengamat budaya menilai bahwa komedi seharusnya menjadi sarana kritik sosial yang cerdas, bukan media untuk menertawakan nilai-nilai yang menjadi identitas masyarakat.
“Komedi boleh tajam, tapi jangan sampai menertawakan nilai yang menjadi dasar identitas manusia,” pungkas Gian Anugrah.