finnews.id – Fenomena eksodus besar dari Selandia Baru menjadi sorotan internasional setelah data terbaru menunjukkan lonjakan tajam jumlah warganya yang pindah ke Australia. Dalam laporan The Guardian, lebih dari 73.000 warga Selandia Baru meninggalkan negaranya sepanjang tahun hingga Agustus 2025. Angka ini bukan hanya rekor baru, tetapi juga sinyal kuat bahwa ekonomi Selandia Baru sedang berada dalam tekanan serius. Banyak yang mulai bertanya, kenapa kini banyak warganya pilih Australia sebagai tempat baru untuk hidup dan bekerja?
Ekonomi Melemah, Warga Mulai Mencari Nafas di Negeri Tetangga
Eksodus besar dari Selandia Baru mencerminkan keresahan nyata terhadap kondisi ekonomi yang stagnan. Inflasi yang tinggi, upah rendah, dan harga kebutuhan pokok yang melonjak membuat banyak keluarga kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Menurut data World Bank, pendapatan per kapita di Australia mencapai sekitar 64.400 dolar, jauh di atas Selandia Baru yang hanya 48.000 dolar. Kesenjangan ini menimbulkan arus migrasi besar-besaran, terutama di kalangan generasi muda yang merasa masa depan lebih cerah di Australia.
Hayden Fisher, seorang pekerja toko buku asal Wellington, mengaku kini hidupnya jauh lebih stabil setelah pindah ke Sydney. Ia tak lagi harus membayar belanja mingguan dengan sistem kredit. Cerita serupa datang dari Genevieve Fulton, pekerja muda di bidang ilustrasi yang kini bisa bekerja lebih sedikit jamnya karena pendapatannya meningkat dua kali lipat dibanding saat di Selandia Baru.
Australia Menjadi Magnet Ekonomi Baru
Selain gaji yang lebih tinggi, Australia menawarkan kestabilan ekonomi dan peluang kerja yang lebih luas. Pemerintah Australia memberi kemudahan bagi warga Selandia Baru untuk bekerja dan tinggal tanpa batasan rumit, menjadikannya destinasi utama bagi mereka yang ingin memperbaiki kualitas hidup. Data dari Australian National University menunjukkan sekitar 80 persen diaspora Selandia Baru kini tinggal di kota-kota besar seperti Brisbane, Sydney, dan Melbourne.
Profesor Alan Gamlen dari Migration Hub ANU menyebut fenomena ini sebagai bagian dari arus migrasi alami antara dua negara tetangga yang saling terhubung secara ekonomi dan budaya. Namun, kali ini arusnya jauh lebih besar karena tekanan ekonomi dalam negeri Selandia Baru meningkat tajam setelah pandemi. Menurutnya, negeri Kiwi lebih mudah merasakan dampak krisis global karena skalanya kecil dan lokasinya yang relatif terpencil.