Kondisi yang diungkap ini bukan sekadar isu lokal biasa. Organisasi advokasi seperti Dog Meat Free Indonesia memperkirakan bahwa tiap tahun jutaan anjing di Indonesia menjadi bagian dari industri konsumsi, dieksploitasi melalui praktik pencurian, transportasi dalam kondisi menyiksa, penyimpanan di karung ataupun kandang sempit, hingga penyembelihan secara brutal.
Legalitas perdagangan anjing untuk konsumsi di Indonesia masih berada di zona abu-abu. Meski terdapat undang-undang seperti UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang di pasal 66 mengatur bahwa hewan vertebrata harus “bebas dari rasa sakit, takut atau tekanan” dalam kegiatan tangkap, pemeliharaan, transportasi dan penyembelihan.
Namun mekanisme penegakan untuk perdagangan dan konsumsi anjing secara spesifik belum berjalan optimal. Studi hukum menyebut bahwa Indonesia masih “peringkat D” dalam indeks perlindungan hewan global karena regulasi yang fragmentaris dan kurang sanksi tegas.
Munculnya unggahan yang menyebut praktik di area Ganjuran memperlihatkan dua bahaya utama: pertama, pelanggaran kesejahteraan hewan secara massif; kedua, risiko kesehatan masyarakat, khususnya rabies.
Sebuah artikel terbaru menyebut bahwa konsumsi anjing dan kucing menjadi sorotan karena potensi transmisi rabies dan penyakit zoonosis lainnya.
Lebih jauh, berdasarkan kampanye advokasi, praktik perdagangan anjing untuk konsumsi di Indonesia dilakukan dengan metode yang sangat kejam: anjing dikumpulkan dari jalanan atau dicuri dari pemilik, dipaksa dalam karung atau kandang sempit tanpa makanan/minum, diangkut jarak jauh, sering kali sebelum disembelih.
- DIY
- Ganjuran
- KonsumsiAnjing
- Parangtritis
- PerdaganganAnjing
- PerlindunganHewan
- PoldaDIY
- potensi rabies akibat perdagangan anjing ilegal di DIY
- Rabies
- regulasi perlindungan anjing Indonesia
- seruan warga kepada Polda DIY tindakan perdagangan anjing
- temuan perdagangan anjing Dikonsumsi di Ganjuran Parangtritis
- Zoonosis