Lima belas tahun telah berlalu sejak hari pernikahan itu.
Maria kini dikenal sebagai salah satu tokoh investor Tiongkok di Indonesia yang paling berpengaruh.
Dia tak pernah menikah lagi. Hatinyi telah tertambat pada satu cinta yang abadi, cinta yang tak lagi berupa kehadiran fisik, tapi menjadi cahaya yang membimbing setiap langkahnyi.
Suatu pagi, Maria berdiri di depan cermin, kini dengan rambut yang sedikit beruban.
Sandy sudah dewasa, dan hari itu ia hendak berangkat lagi ke Beijing untuk kuliah.
Sebelum pergi, Sandy mencium tangan ibunya dan berkata,
“Mama, di Beijing nanti aku ingin ke makam Papa. Ada pesan?”
Maria tersenyum lembut.
”Katakan padanya… aku sudah belajar tertawa tanpa ia, tapi tak pernah berhenti mencintainya.”
Ketika pesawat lepas landas, Maria duduk di taman, memandangi langit biru Jakarta. Di antara dedaunan yang bergoyang, ia merasakan hembusan angin lembut menyentuh pipinyi seolah ada tangan yang dulu pernah memeluknyi dengan kasih.
Dia menatap langit, menutup mata, dan berbisik, ”Kelvin… perjalanan hatiku belum berakhir. Aku masih berjalan di jalan yang sama jalan cinta yang kau mulai.”
Langit tampak lebih terang hari itu.
Mungkin karena cinta memang tak pernah benar-benar pergi. Dia hanya berganti wujud — dari pelukan menjadi angin, dari kenangan menjadi kekuatan, dari air mata menjadi cahaya. (Dahlan Iskan)