finnews.id – Di berbagai daerah di Indonesia, pesugihan masih menjadi bagian dari cerita mistis yang hidup di tengah masyarakat, salah satu yang paling menarik untuk dikupas adalah Pesugihan Kandang Bubrah.
Namanya memang terdengar unik, namun di balik istilah ini tersimpan praktik dan kepercayaan yang lekat dengan nilai-nilai budaya serta mitos turun-temurun.
Pesugihan Kandang Bubrah diyakini oleh sebagian masyarakat Jawa sebagai cara untuk mendapatkan kelancaran rezeki dengan cara yang tidak biasa.
Konon, orang yang melakukan pesugihan ini tidak boleh menyelesaikan pembangunan rumahnya hingga benar-benar rampung.
Harus selalu ada bagian yang “belum selesai” entah tembok yang belum diplester, atap yang tidak sepenuhnya tertutup, atau satu ruangan yang sengaja dibiarkan kosong dan terbengkalai.
Pertanyaannya, benarkah keyakinan ini mampu membuka jalan rezeki? Atau justru hanya mitos yang tumbuh dari rasa takut dan kebiasaan lama yang tak pernah dipertanyakan?
Melalui sudut pandang budaya dan kearifan lokal, mari kita bedah lebih dalam apa sebenarnya Pesugihan Kandang Bubrah, termasuk asal-usulnya, ritual yang dilakukan, hingga konsekuensi spiritual yang konon menyertainya.
Asal-Usul Pesugihan Kandang Bubrah
Dalam bahasa Jawa, “kandang bubrah” berarti “kandang yang rusak” atau “tempat tinggal yang tidak selesai”.
Mitos ini berkembang dari kepercayaan bahwa menyelesaikan rumah secara total bisa membawa kesialan atau membuat rezeki mandek.
Rumah yang sempurna dianggap sebagai tanda bahwa seseorang telah “selesai” dalam hidupnya, alias tidak akan berkembang lagi. Maka, untuk menjaga agar aliran rezeki tetap terbuka, rumah harus dibuat seolah-olah masih dalam proses pembangunan.
Kepercayaan ini bukan hanya isapan jempol belaka bagi penganutnya, ada yang bahkan secara sengaja membongkar bagian rumah setiap beberapa tahun agar rumah tersebut tetap “bubrah” atau terlihat belum tuntas.
Mitos ini sudah ada sejak zaman dulu, diwariskan secara lisan oleh para leluhur, terutama di daerah pedesaan Jawa Tengah dan Yogyakarta.