Mitos ini erat kaitannya dengan praktik ilmu kebatinan dan kepercayaan animisme yang dulu kuat di Sulawesi Selatan. Bahkan hingga kini, di beberapa daerah pedalaman, kisah tentang Poppo masih dipercaya, dan anak-anak masih diberi pantangan untuk keluar malam agar tidak “diculik Poppo”.
Fakta atau Histeria Massal?
Banyak yang bertanya, apakah teror Poppo Makassar tahun 1956 benar-benar terjadi?
Beberapa peneliti budaya menyebutkan bahwa kejadian tersebut bisa jadi bentuk histeria massal yang dipicu oleh kepercayaan kuat masyarakat terhadap dunia mistis. Ketakutan yang menular bisa membuat orang melihat hal yang sebenarnya tidak nyata.
Namun, ada juga warga lanjut usia yang masih bersikukuh bahwa mereka melihat sendiri kejadian tersebut. Bagi mereka, Poppo bukan dongeng, melainkan kenyataan yang membekas hingga kini.
Di sisi lain, kisah ini tetap menjadi bagian penting dari warisan cerita rakyat Makassar yang membentuk identitas budaya mereka.
Cerita horor Poppo Makassar 1956 bukan hanya tentang rasa takut, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial, kepercayaan, dan cara masyarakat menghadapi hal yang tidak bisa dijelaskan secara logis.
Dalam dunia modern sekalipun, kisah seperti ini tetap relevan sebagai cermin budaya dan bentuk kewaspadaan terhadap hal-hal yang melampaui nalar.
Mitos Poppo juga memberi kita pelajaran tentang pentingnya komunikasi, solidaritas warga, serta bagaimana rasa takut bisa menyatukan atau justru memecah-belah masyarakat.
Hingga kini, Poppo Makassar 1956 masih jadi legenda yang melegenda.
Entah itu fakta atau mitos, satu hal yang pasti: cerita ini menyimpan daya tarik yang tak lekang oleh waktu. Ia bukan hanya kisah horor, tapi juga warisan budaya yang memperkaya folklore Indonesia.
Berani keluar malam sendiri setelah baca ini?