Oleh: Dahlan Iskan
Setinggi-tinggi jabatan direktur utama sebuah bank pemerintah, tetaplah ia/dia seorang bawahan. Ia/dia masih punya atasan. Bahkan atasannya banyak sekali: menkeu, menko, wapres, para ketua umum partai, menteri BUMN/direksi Danantara, Komisi XI DPR, ketua OJK…
Yang atasan langsung saja ada tiga: menkeu, OJK, dan menteri BUMN/Danantara. Salah satunya sudah mulai melakukan inspeksi mendadak: Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa. Tiga hari lalu. Ke Bank BNI.
Tentu itu terkait dengan komitmen menkeu baru untuk sering melakukan pengecekan ke lapangan. Yakni soal apakah program pemerintah sudah dijalankan. Yang terkait dengan Bank BNI tentu Anda sudah bisa menduga: apakah dana Rp 200 triliun yang sebagian diturunkan ke Bank BNI sudah mengalir ke hilir.
Tugas menkeu adalah mengalirkannya ke sistem keuangan. Di zaman ekonomi bergairah justru bank yang sering cari uang. Sampai bersaing memberi bunga tinggi pada penabung deposito. Kini justru mereka yang dipaksa menerima uang besar. Dengan bunga murah: 4 persen setahun. Mereka dipaksa menyalurkan dana itu ke dunia usaha. Agar ekonomi kembali bergairah.
Bisakah bank menolak dana menkeu itu? Dengan alasan dunia usaha lagi lesu? Takut kredit macet meningkat?
Hukum besi yang berlaku untuk bawahan Anda sudah tahu: dilarang melawan atasan. Apalagi perintah atasan itu sangat mulia. Alasan ekonomi lagi lesu tentu hanya akan bikin atasan lebih marah: justru program ini untuk membuat yang lesu itu berangkat bersemangat.
Tapi, caranya bagaimana?
Jawaban Menkeu Purbaya, sangat khas atasan: “Mereka dong yang mikir,” ujarnya. “Masak saya!?” tambahnya.
Anda, yang kebetulan menjadi atasan, boleh meniru gaya Purbaya itu: ”Kalian dong yang mikir, masak saya”.
Tentu lihat-lihat juga tingkat ”atasan” seperti apa yang Anda miliki. Kalau Anda seorang atasan yang hanya punya bawahan para tukang, buruh, cleaning, tukang antar surat dan setingkat itu, jangan sekali-kali meniru Purbaya. Anda akan dilempar bata di punggung Anda –meski hanya gayanya saja melempar tapi matanya melotot.