Oleh: Dahlan Iskan
Santri dari berbagai pondok pesantren akan lomba pidato melawan berbagai sekolah Tionghoa dalam bahasa Mandarin. Itu akan terjadi di hari Jumat besok. Di atrium Tunjungan Plaza 6, Surabaya.
Sabtu lusa acara diteruskan dengan debat dalam bahasa Mandarin. Acara ini, khusus diikuti oleh para santri berbagai pondok pesantren. Temanya pun sangat santri: Dakwah di Era Kecerdasan Buatan.
Penyelenggaranya Anda sudah tahu: Harian Disway bersama Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia –yang ketua umumnya pengusaha besar Wilianto Tanta itu. Dan didukung oleh Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jawa Timur.
Awalnya panitia pesimistis: apakah akan ada pesertanya. Maka panitia pun melakukan road show ke berbagai pesantren. Awalnya ke pondok pesantren Al Majidiyah, Pamekasan, Madura.
“Kami kaget. Di sana disambut resmi di ruang pertemuan,” ujar Tira Mada, ketua panitia. “Acaranya pun formal. Ada MC-nya. Ada pembacaan Al Quran, ada menyanyikan lagu Indonesia Raya,” katanya. Semua dilaksanakan dalam bahasa Mandarin.
Padahal tiga orang panitia yang datang ke Al Majidiyah tidak ada yang bisa berbahasa Mandarin. Tira adalah orang Toraja alumnus komunikasi Unesa Surabaya.
Maka terjadilah berbagai kelucuan. Saat MC mengatakan sesuatu, panitia tetap duduk. Pengasuh pesantren pun mencolek mereka dari belakang. Agar berdiri. Ternyata MC tadi mengucapkan kalimat ”saatnya menyanyikan lagu Indonesia Raya”.
Yang Tira juga kaget adalah saat pembacaan Al Quran. Ia Kristen, tapi diberi tahu yang sedang dibaca adalah Surat Al Mujadalah ayat 11-12.
Di acara tersebut bacaan Quran itu diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin.
Begitu maju kelas Mandarin di Madrasah Aliyah Al Majidiyah Pamekasan ini. Alumninya sudah 200 orang lebih. Yang saat ini masih sedang belajar berjumlah 50 orang. Itu hanya yang laki-laki.
“Yang wanita berapa?” tanya saya lewat telepon.
“Saya tidak tahu. Yang tahu istri saya,” kata Ustaz Ihya Ulumuddin, pengasuh jurusan Mandarin di Al Majidiyah.
Istri Ustaz Ihya, Rozanah, juga orang Madura. Orang Sumenep. Rozanah-lah pengasuh jurusan Mandarin untuk santri wanita.
“Saya dan Rozanah sesama Madura, tapi dipertemukan di Xiamen,” ujar Ustaz Ihya lantas tertawa.
Waktu itu mereka sama-sama kuliah S-1 di Xiamen. Satu angkatan dengan sesama alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid, Novi Basuki –yang jadi ketua dewan juri.
Lulus S-1 di Xiamen, Ihya-Rozanah meneruskan ke jenjang pernikahan di Madura. Setelah itu keduanya cari beasiswa untuk S-2 di Zhejiang University di Hangzhou. Mereka pun berangkat ke Hangzhou. Kuliah sambil bulan madu.
Sebenarnya pendiri jurusan Mandarin di pondok Al Majidiyah adalah kiai pendiri pondok Al Majidiyah itu sendiri: KH Mun’im Bayan. Sang kiai adalah sepupu kiai di Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Maka dengan mudah Kiai Mun’im mendapat bantuan guru Mandarin dari Nurul Jadid. Dikirimlah Ustaz Ihya ke Al Majidiyah.
Untuk acara besok dan lusa Al Majidiyah mengirim peserta lomba 12 santri. Tema pidato sudah ditentukan: Mimpiku tentang Indonesia.
Yang juga banyak mengirim peserta adalah SMA Islam Sabilillah, Malang: 13 orang. Sebenarnya Sabilillah baru membuka program Mandarin tiga tahun lalu. Ini memang SMA Islam baru: berdiri 2014.
Tapi Anda sudah tahu: Yayasan Sabilillah sendiri didirikan 1984. Awalnya mendirikan masjid Sabilillah di Blimbing. Besar. Megah. Anda selalu melewatinya kalau ke Malang –dari arah Surabaya, kanan jalan.
Masjid itu didirikan di situ karena sejarah: di situlah markas besar laskar Hisbullah di zaman perang kemerdekaan. Tokohnya KH Masykur. Lalu diteruskan oleh KH Tholhah Hasan –pernah menjabat menteri agama.
Kini SMA Islam Sabilillah punya program bahasa Jerman, Jepang dan Mandarin. Sedang bahasa wajib untuk semua siswa adalah Inggris dan Arab.
“Kami mendapatkan guru Mandarin dari Universitas ”dulu IKIP’ Malang,” ujar Ahmad Nasor, wakil kepala sekolah di situ. Ia sendiri alumnus UM jurusan sejarah.
Yang paling banyak kirim peserta tentulah pondok pesantren Nurul Jadid, 15 orang. Lalu Madrasah Aliyah Unggulan Bina Insan Mulia (Bima), Cirebon, 14 orang. Bima adalah milik tokoh NU yang pernah jadi ketua cabang PDI-Perjuangan di Kairo, Mesir: KH Imam Jazuli.
Dari Madura masih ada satu pesantren lagi yang kirim peserta: pondok pesantren Al Nuqayah di luar kota Sumenep.
Ada juga dari Lamongan: SMK 1 NU Karanggeneng. Lalu dari Madrasah Aliyah (MA) Syekh Abdurrahman, Malang.
Yang dari sekolah Tionghoa tercatat: SMA Xin Zhong, Surabaya. Lalu dari Universitas Ma Chung, Malang.
Tidak kalah pula dari SMA Kristen Elyon, SMA IPH West, dan SMA Katolik Frateran Surabaya.
Ketua Dewan Kehormatan PSMTI Pusat Teguh Kinarto juga kaget begitu banyak pesertanya. Begitu berkembang bahasa Mandarin di pondok pesantren.
“Saya akan nonton bersama anak cucu,” ujar Teguh Kinarto.
Semua anak muda punya mimpi tentang Indonesia. Tapi seperti apa mimpi itu kalau diucapkan dalam bahasa Mandarin, Anda pun ingin menyaksikannya.(Dahlan Iskan)