bahwa uang NICA adalah ilegal di wilayah Republik Indonesia.
Lahirnya ORI: Oeang Republik Indonesia
Sebagai bentuk perlawanan dan untuk memperkuat legitimasi kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia menerbitkan ORI (Oeang Republik Indonesia).
Maklumat tentang pencetakan uang ini diumumkan pada 3 Oktober 1945, proses pencetakan dimulai awal 1946 dengan tenaga kerja dan fasilitas terbatas, bahkan harus berpindah ke daerah-daerah karena situasi keamanan di Jakarta memburuk.
ORI resmi diedarkan pada 30 Oktober 1946, dan menjadi simbol penting kedaulatan ekonomi nasional.
Uniknya, saat ORI mulai beredar, tanda tangan di lembaran uang masih atas nama A.A. Maramis, meski ia tidak lagi menjabat sebagai Menteri Keuangan kala itu.
ORI kemudian berkembang ke berbagai daerah dalam bentuk ORIDA (ORI Daerah), sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi di lapangan.
Namun ORI dan ORIDA hanya bertahan hingga 1 Januari 1950. Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB), Indonesia mulai bertransisi ke mata uang
Republik Indonesia Serikat (RIS), uang RIS mulai beredar sejak 27 Maret 1950, diterbitkan oleh De Javasche Bank sebagai bentuk kompromi dengan Belanda.
Masa Transisi ke Rupiah Modern
Masa Republik Indonesia Serikat tidak bertahan lama, setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan pada 17 Agustus 1950, masa edar uang RIS pun turut berakhir.
Pada 1951-1952, pemerintah menjalankan kebijakan drastis bernama Gunting Sjafruddin untuk mengatasi inflasi dan menekan jumlah uang beredar.
Melalui kebijakan ini, sebagian uang dipotong atau “digunting”, dan hasilnya digunakan untuk mendanai negara melalui obligasi.
Di masa ini pula, De Javasche Bank dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia, yang secara resmi berdiri pada 1 Juli 1953 dan ditetapkan sebagai bank sentral Republik Indonesia.
Pasca berdirinya Bank Indonesia, rupiah sebagai mata uang nasional mulai distandarisasi, Pemerintah dan Bank Indonesia menerbitkan dua jenis uang, yakni pemerintah untuk pecahan di bawah Rp5, dan BI untuk pecahan Rp5 ke atas.