Oleh: Dahlan Iskan
Menghitung hari. Tidak sampai satu purnama lagi Kementerian BUMN sudah almarhum. Bahkan mungkin tinggal 15 hari lagi. Jangan-jangan justru sudah bubar saat saya masih di Syria –hari ini saya terbang ke Suriah.
Kan menteri BUMN-nya sudah dipindah menjadi menteri Pemuda dan Olahraga: Erick Thohir. Semua pekerjaannya sudah pindah ke Danantara. Satu-satunya tugas tinggal memegang saham satu lembar –bukan satu persen– di perusahaan-perusahaan milik negara.
Bahwa kemarin-kemarin belum bubar itu semata karena UU BUMN masih membunyikan nama kementerian itu. Itu urusan mudah –untuk zaman Jokowi dan Prabowo. Membuat UU saja bisa dilakukan dengan sekali tiwikrama. Apalagi hanya mengubahnya.
Maka UU BUMN harus diubah. Bukan pekerjaan berat. Apalagi yang perlu diubah hanya lima pasal. Harusnya lima menit selesai. Coba Anda perhatikan sidang-sidang DPR yang akan memroses perubahan UU BUMN yang belum lama diubah itu. Pasti serbakilat.
Prosesnya tentu dimulai dari presiden: kirim surat ke DPR. Minta perubahan. Para ketua umum partai sudah lebih dulu diberi tahu. Mereka menginstruksikan fraksi masing-masing di DPR mengenai apa sikap partai: setuju memenuhi permintaan presiden.
Komisi VI DPR membahasnya –lebih tepatnya menyetujuinya. Mungkin hanya perlu sekali sidang. Itu pun tidak sampai satu jam.
Setelah itu tinggal tunggu jadwal sidang pleno DPR –katakanlah seminggu kemudian. Tidak akan ada voting. Langsung aklamasi: setuju.
Kementerian BUMN pun bubar. Sejarah ditutup. Usia kementerian itu ternyata pendek: 30 tahun. Anda masih ingat: kementerian itu didirikan di akhir masa jabatan Presiden Soeharto. Menteri pertamanya Anda sudah tahu: Tanri Abeng, almarhum.
Sebelum era BUMN semua perusahaan negara berada di bawah masing-masing kementerian teknis. Yang sifatnya industri di bawah Kementerian Perindustrian. Misalnya pabrik baja Krakatau Steel. Sang Hyang Sri di bawah Kementerian Pertanian. Garuda dan KAI di bawah Kementerian Perrhubungan.
Bentuk awalnya masih ”jawatan” –kata ini tidak satu pun dipakai lagi di mana pun. Saya juga ingin tahu apa arti sebenarnya ”jawatan”. Bahasa Indonesiakah ”jawatan?”