Beberapa contoh penerapannya antara lain:• Menentukan hari baik untuk pernikahan atau pindahan rumah
- Merencanakan acara besar seperti selamatan atau khitanan
- Membandingkan kecocokan pasangan atau rekan bisnis
- Menentukan waktu yang pas untuk memulai usaha baru
Masyarakat Jawa meyakini bahwa jika waktu yang dipilih selaras dengan energi positif dari weton, maka segala sesuatunya akan berjalan lebih lancar dan harmonis.
Kalender Jawa vs Kalender Lainnya
Jika dibandingkan dengan kalender Masehi (Gregorian), kalender Jawa lebih dekat sistemnya dengan kalender Hijriah karena sama-sama menggunakan peredaran bulan (lunar calendar atau qamariyah).
Namun, ada satu perbedaan penting: pergantian hari dalam kalender Jawa dimulai saat matahari terbenam (ba’da Magrib), bukan tengah malam seperti kalender Masehi.
Kalender Jawa terdiri dari:
- 12 bulan lunar, seperti Sura, Sapar, Mulud, dst.
- Siklus Pancawara (5 pasaran: Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon)
- Siklus Saptawara (7 hari: Senin hingga Minggu)
Kombinasi dari siklus ini menciptakan sistem penanggalan yang unik dan kompleks, namun sangat kaya makna.
Bulan Mulud: Makna Spiritual di Baliknya
Hari ini juga jatuh pada tanggal 29 Mulud, yang merupakan bulan ketiga dalam penanggalan Jawa, bulan ini dikenal sebagai waktu yang membawa energi spiritual, reflektif, dan penuh berkah.
Banyak masyarakat Jawa yang menggunakan bulan Mulud untuk melakukan ziarah, doa bersama, dan kegiatan keagamaan lainnya.
Dalam sejarah dan budaya Jawa, bulan Mulud erat kaitannya dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, sehingga atmosfernya sangat kental dengan nuansa religius dan penghormatan terhadap leluhur.
Memahami kalender Jawa hari ini bukan sekadar mengikuti tradisi, tapi juga bentuk penghormatan terhadap kearifan lokal yang telah diwariskan selama berabad-abad.
Di tengah modernitas, warisan seperti weton dan pasaran Jawa tetap punya tempat tersendiri, karena mampu menghubungkan kita dengan ritme alam dan nilai-nilai leluhur.