Kami pun disambut Pak Djauhari. Ia baru saja terbebas dari kerja keras menyambut dan melepas Presiden Prabowo Subianto yang mendadak datang ke Beijing untuk memenuhi undangan parade itu.
Wanita itu ternyata juga wartawan. Asal Rumania. Dia pengantin agak baru dengan bayi baru. Sang suami juga Rumania, wakil wali kota di salah satu kota di sana.

Meski bule dia wartawan CCTV –stasiun TV milik pemerintah pusat Tiongkok. Dia pernah mewawancarai Djauhari. Viral. Pemirsanya sampai 600 juta. “Terbesar dalam sejarah kewartawanan saya,” katanyi. Nama Indonesia ikut terkatrol tinggi.
“Harusnya dia kita angkat jadi duta Indonesia untuk dunia,” seloroh saya kepada Pak Dubes. Utamanya di saat Indonesia perlu memperbaiki citra di mata dunia setelah tercoreng oleh kerusuhan 30 Agustus lalu.
Kami dijamu masakan Indonesia. Pembukanya soto ayam. Lalu sepiring menu dengan lauk di sekeliling nasi: rendang, tempe goreng, seiris ikan, dan sayur brokoli. Rendangnya enak sekali. Nasinya nasi ayam –mirip nasi ayam Hainan. Tapi ini gaya Yunnan. Hampir tidak beda-rasa dengan Nasi Ayam Hainan –hanya ditambah irisan jamur.
Ruang makan itu dihiasi banyak lukisan. Ternyata itu karya istri tuan rumah: Ny Djauhari –Wiwik Oratmangun. Dia seorang pelukis sejak umur 55 tahun. Bulan lalu pameran di Bali –bersama beberapa pelukis mancanegara. November nanti dia pameran di Fukuoka bersama pelukis Jepang.
“Apakah lukisan yang dipamerkan di Bali langsung diangkut ke Fukuoka?” tanya saya.
“Yang di Bali sudah habis. Laku semua,” ujar Wiwik Oratmangun.

Dia putri Wonosobo, Jateng. Orang pegunungan. Djauhari orang Saumlaki –orang laut Maluku Tenggara. Mereka ibarat asam di gunung garam di laut bertemu di pelaminan. Di Yogyakarta. Saat Djauhari kuliah ekonomi di UGM.