Namun, di sisi lain, pelibatan pelajar juga dinilai berisiko. Mereka rentan ditunggangi pihak tertentu karena belum sepenuhnya memahami substansi isu yang diperjuangkan. “Negatifnya, sering kali mereka ikut tanpa pemahaman penuh soal isu yang diperjuangkan, rawan ditunggangi, bahkan berujung kericuhan,” pungkas Andi.
Aksi Tanpa Komando yang Jelas
Aksi “Revolusi Rakyat Indonesia” diikuti oleh berbagai elemen masyarakat, mulai dari mahasiswa, aktivis, hingga pelajar STM. Namun, jalannya aksi berlangsung tanpa komando yang jelas serta minim fasilitas pendukung. Hal ini membuat pergerakan massa tidak terkoordinasi dengan baik.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak penyelenggara demonstrasi maupun aparat keamanan terkait evaluasi jalannya aksi. Publik kini menantikan apakah gerakan tersebut akan berlanjut dengan koordinasi yang lebih matang atau berhenti sebatas ekspresi spontan masyarakat.
Aksi unjuk rasa “Revolusi Rakyat Indonesia” mencerminkan keresahan publik terhadap kinerja DPR. Namun, lemahnya koordinasi, minimnya perangkat aksi, serta keterlibatan pelajar tanpa pemahaman penuh membuat dampak politik yang dihasilkan tidak signifikan. Meski begitu, fenomena ini tetap menunjukkan bahwa kesadaran politik di kalangan masyarakat, termasuk generasi muda, mulai tumbuh dan tidak bisa diabaikan. (Fajar Ilman)