finnews.id – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kondisi kelas menengah di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, menurutnya, kelompok ini telah menyusut sebanyak 9,5 juta orang. Fenomena ini turut berdampak pada perlambatan sektor industri, khususnya manufaktur.
Shinta menjelaskan bahwa lebih dari 50 persen perusahaan yang disurvei Apindo mengaku telah mengurangi jumlah tenaga kerja, dan sebagian besar masih berencana melakukan efisiensi lanjutan. Hal ini menjadi salah satu penyebab meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia.
“Banyak perusahaan akhirnya memilih fokus pada efisiensi dibanding mengambil risiko ekspansi. Rekrutmen melambat, transformasi industri belum diimbangi oleh peningkatan keterampilan. Ini menjadi alarm bagi sektor ketenagakerjaan,” kata Shinta dalam acara Dewas BPJS Menyapa Indonesia, Senin, 28 Juli 2025 di Jakarta.
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat bahwa sebanyak 42.385 tenaga kerja terdampak PHK sepanjang Januari hingga Juni 2025.
Namun, pernyataan tersebut dibantah oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, menilai narasi badai PHK di industri manufaktur harus dilihat secara proporsional dan berbasis data.
Menurut Febri, memang benar beberapa subsektor industri terdampak, namun hal itu tidak mencerminkan kondisi keseluruhan sektor manufaktur. Ia menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama terjadinya penurunan tenaga kerja adalah kebijakan relaksasi impor sejak Mei 2024, yang membuat pasar domestik dibanjiri produk impor murah.
Subsektor seperti tekstil dan alas kaki menjadi yang paling terkena imbas. Data dari BPS (Sakernas) menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja di sektor industri pengolahan turun dari 23,98 juta orang pada Agustus 2024 menjadi 19,60 juta orang pada Februari 2025.
Meski begitu, Kemenperin menegaskan bahwa secara umum sektor industri nasional masih menunjukkan tren pertumbuhan. Data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) mencatat bahwa sebanyak 1.641 perusahaan tengah membangun fasilitas produksi baru, dengan total nilai investasi mencapai Rp803,2 triliun. Proyek-proyek tersebut diperkirakan akan menyerap sekitar 3,05 juta tenaga kerja.
Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada Juni 2025 pun mencatat angka 52,50, yang menunjukkan bahwa mayoritas pelaku industri mengalami perbaikan kinerja. Skor sektor ekspor dan domestik juga positif, masing-masing 52,19 dan 51,32.
Guna memperkuat sektor industri, pemerintah telah merevisi kebijakan impor melalui Permendag No. 8 Tahun 2024 yang akan mulai berlaku dalam dua bulan ke depan. Revisi ini diyakini akan mengurangi banjir produk impor murah dan meningkatkan utilisasi industri dalam negeri.
Di sisi lain, Kemenperin juga tengah menyusun regulasi Kredit Industri Padat Karya (KIPK) yang ditujukan untuk mendukung 2.722 perusahaan padat karya agar bisa memperoleh insentif guna mencegah PHK lebih lanjut.
Langkah lain yang diambil pemerintah adalah memperkuat diplomasi ekonomi. Dalam kunjungannya ke Jepang, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita meminta langsung kepada prinsipal industri otomotif untuk tidak melakukan PHK di Indonesia demi menjaga stabilitas sektor.
Febri menekankan bahwa informasi terkait kondisi industri harus disampaikan secara seimbang agar tidak menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat dan pelaku usaha.
“Industri manufaktur tetap menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional dan penciptaan lapangan kerja. Narasi badai PHK tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan,” tutup Febri. (Bianca Khairunissa)