finnews.id – Kebijakan perpajakan aset kripto di Indonesia akan mengalami perubahan signifikan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan berencana merevisi aturan pajak kripto, mengalihkannya dari komoditas menjadi instrumen finansial. Langkah ini mendapat dukungan penuh dari pelaku industri, salah satunya Tokocrypto.
CEO Tokocrypto, Calvin Kizana, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, memandang bahwa revisi aturan ini bukan tanpa alasan. “Kami mendukung penuh langkah Kemenkeu untuk menyesuaikan regulasi pajak dengan realitas penggunaan kripto saat ini,” ujar Calvin. Ia menambahkan bahwa pengelompokan kripto sebagai instrumen finansial akan memberikan kejelasan bagi pelaku usaha dan investor, sekaligus menjadi fondasi penting untuk mendorong inovasi di sektor keuangan digital.
Perkembangan Kripto dan Pergeseran Pengawasan
Perluasan skema perpajakan ini didasari oleh perkembangan pesat penggunaan kripto yang kini tak hanya sebagai aset yang diperjualbelikan, tetapi juga sebagai alat investasi hingga derivatif. Sepanjang kuartal I tahun 2025 (Januari–Maret) saja, penerimaan negara dari pajak transaksi kripto telah mencapai Rp1,21 triliun.
Perubahan pendekatan pajak ini juga selaras dengan pengalihan otoritas pengawasan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Perpindahan ini menjadi penanda jelas bahwa pemerintah memandang kripto bukan lagi sekadar barang dagangan digital, melainkan bagian integral dari sistem keuangan yang memerlukan pengawasan lebih ketat dan komprehensif.
“Pengawasan oleh OJK membuka jalan bagi regulasi yang lebih holistik. Ini juga memberikan dasar hukum untuk memperlakukan kripto sebagai instrumen keuangan,” jelas Calvin.
Jenis Pajak Baru dan Harapan Industri
Sebelumnya, transaksi kripto telah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 63/PMK.03/2022, saat masih dikategorikan sebagai komoditas digital.