finnews.id – Dalam pembukaan United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII) di New York, sebuah insiden memancing kehebohan dunia maya: sekelompok peserta terlihat mengacungkan poster bertuliskan “Free Aceh, Free Maluku, dan Free Papua” di ruang sidang Majelis Umum PBB.
Video dan foto aksi itu langsung viral, memicu perdebatan tentang kebebasan berpendapat dan batasan etika dalam forum internasional.
Sidang UNPFII ke-24, yang digelar sejak 21 April hingga 2 Mei 2025, merupakan ajang rutin bagi negara anggota dan perwakilan masyarakat adat untuk membahas implementasi Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat.
Namun, pekikan slogan kemerdekaan wilayah Indonesia itu tampak jauh dari kontekstual diskusi. Dalam beberapa rekaman, petugas keamanan UN’s Department of Safety and Security (UNDSS) mendekati meja para pengunjung—diduga WNI berpakaian adat—dan menahan kertas-kertas bertuliskan slogan separatis.
Salah satu anggota delegasi menuai sorotan saat menolak intervensi petugas. “Kami di sini sebagai hak individu. Ini forum PBB, bukan ruang legislatif Indonesia,” ujarnya, mempertahankan kebolehan membawa pesan politik ke sidang internasional.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Rolliansyah “Roy” Soemirat, mengecam peristiwa tersebut.
Menurut Roy, aksi itu menodai substansi forum, yang seharusnya fokus pada hak-hak dan pemberdayaan masyarakat adat, bukan kampanye politik separatis.
“Ini penyalahgunaan forum PBB yang tidak bertanggung jawab, semata mencari sensasi,” tegasnya usai konferensi pers di Gedung Palapa, Jakarta, Kamis (24/4).
Roy menekankan, kehadiran perwakilan melalui NGO memberikan akses berharga untuk berdialog soal kedaulatan dan kerjasama lintas negara.
Oleh sebab itu, membawa agenda “Free Aceh, Free Maluku, dan Free Papua” ke PBB harusnya diatur dengan etika diplomasi yang menghormati kedaulatan Indonesia.
Slogan yang sama pernah menyeruak dalam konflik Aceh sebelum Perjanjian Helsinki 2005, kerusuhan Maluku akhir 1990-an, dan perjuangan politik di Papua yang masih berlangsung hingga kini.
Meski setiap wilayah memiliki latar sosial-politik unik, republik Indonesia menegaskan keutuhan NKRI melalui dialog, otonomi khusus (Kaltara, Papua), dan pembangunan inklusif.
Insiden ini mengingatkan bahwa forum internasional seperti UNPFII adalah wahana serius untuk mengangkat isu kemanusiaan dan hak adat—bukan ajang kampanye teritorial.
Pemerintah RI akan terus memantau kejadian serupa dan memastikan setiap partisipan mengedepankan etika serta kepatuhan pada aturan PBB.