finnews.id – Gejolak global kembali mengguncang pasar energi. Harga minyak dunia resmi menyentuh titik terendah dalam empat tahun terakhir, mencerminkan ketidakpastian yang tengah melanda perekonomian global. Di tengah bayang-bayang perang dagang antara Amerika Serikat dan China, serta kekhawatiran resesi yang makin nyata, pasar minyak pun tak luput dari guncangan.
Pada perdagangan Selasa waktu setempat waktu Jakarta, harga minyak mentah Amerika Serikat di tutup di bawah USD 60 per barel. Penurunan ini bukan hanya signifikan secara angka, tetapi juga mencerminkan respons pasar terhadap situasi politik dan ekonomi dunia yang sedang memanas.
Ketegangan Global Menekan Harga Minyak Dunia
Harga minyak mentah AS di tutup di level USD 59,58 per barel, turun sebesar USD 1,12. Sementara itu, patokan minyak mentah global Brent juga mengalami penurunan, menyentuh angka USD 62,82 per barel setelah turun USD 1,39 atau 2,16%.
Kekhawatiran besar pasar terhadap langkah Trump yang kembali menaikkan tarif impor, kali ini dengan skala yang lebih besar terhadap China. Kebijakan ini di anggap bisa memicu perang dagang global berskala besar, dan secara langsung memukul sektor energi.
Meski sempat mengalami kenaikan di awal sesi perdagangan, harga minyak tak mampu mempertahankan momentumnya.
Menurut Helima Croft, saat ini pasar minyak tengah menghadapi “campuran racun”: ancaman resesi dari perang dagang, kembali memasukkan lebih banyak pasokan minyak ke pasar. Kombinasi ini menambah tekanan pada harga.
Potensi Resesi Global Makin Dekat
Dampak dari ketegangan ekonomi ini tak hanya di rasakan oleh pasar minyak, tetapi juga mencuat dalam prediksi sejumlah lembaga keuangan besar dunia. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa baik J.P. Morgan maupun Goldman Sachs memprediksi kemungkinan Amerika Serikat masuk ke jurang resesi meningkat hingga 60%.
Permintaan global yang melemah jelas memukul harga minyak dunia. Dari sisi anggaran, penurunan ini membawa dua sisi mata uang bagi Indonesia. Di satu sisi, beban subsidi energi menjadi lebih ringan karena harga minyak mentah yang lebih rendah dari asumsi APBN sebesar USD 80 per barel. Namun di sisi lain, penerimaan negara dari sektor komoditas tertentu ikut terdampak.
Dampak Langsung Bagi Ekonomi Domestik
Komoditas lain pun menunjukkan pergerakan bervariasi. Harga batu bara, misalnya, kini berada di bawah USD 100, menandakan tekanan yang cukup besar di sektor energi. Namun di tengah situasi ini, Indonesia masih mendapat angin segar dari kenaikan harga CPO (minyak kelapa sawit) serta stabilnya harga tembaga (copper).
Sri Mulyani menyebut bahwa kenaikan CPO menjadi faktor positif bagi penerimaan negara, sementara penurunan harga nikel harus terus dipantau agar tidak menimbulkan tekanan tambahan.
Harga minyak dunia yang terus merosot adalah cerminan dari ketegangan geopolitik dan tekanan ekonomi yang semakin kompleks. Meski membawa beban bagi negara-negara penghasil minyak, kondisi ini sekaligus memberi ruang bagi negara pengimpor seperti Indonesia untuk sedikit bernapas dari sisi subsidi energi. Namun yang lebih penting, dinamika ini menuntut kewaspadaan ekstra dalam menjaga stabilitas fiskal dan daya tahan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global yang terus berkembang.