finnews.id – Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra angkat suara soal ketidaksetujuan Presiden Prabowo Subianto atas penerapan hukuman mati bagi koruptor.
Yusril menilai, sikap Prabowo tersebut mencerminkan sikap kenegarawanan yang menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dan kemanusiaan.
Pasalnya, sambung dia, apabila seseorang sudah dieksekusi mati, maka tidak ada lagi kesempatan untuk menghidupkan kembali orang tersebut jika terdapat sisa 0,1 persen kemungkinan tidak bersalah, walaupun hakim sudah menyatakan 99,9 persen orang itu terbukti bersalah.
“Sebagai Presiden, beliau tidak ingin melaksanakan hukuman mati terhadap narapidana mana saja dan kasus apa saja,” ujar Yusril saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa 8 April 2025.
Maka dari itu, dirinya berpendapat Prabowo berbicara bukan sebagai seorang hakim, tetapi seorang negarawan serta bapak bangsa yang berjiwa besar dan mengedepankan sisi kemanusiaan daripada sisi lainnya.
Menurut Yusril, penolakan Prabowo tersebut sah dan sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Ia menuturkan Undang-Undang (UU) tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memang membuka kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman mati bagi terdakwa korupsi yang terbukti melakukan kejahatan tersebut dalam keadaan tertentu.
Dalam keadaan tertentu dimaksud, yakni keadaan-keadaan yang luar biasa, seperti keadaan perang, krisis ekonomi, maupun bencana nasional yang sedang terjadi.
“Itu disebut dalam UU Tipikor Nomor 20 Tahun 2001, yang saya sendiri ketika itu mewakili Presiden membahas RUU tersebut dengan DPR,” tuturnya.
Meskipun UU telah membuka kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman mati
dalam keadaan seperti itu, sambung dia, sampai saat ini belum pernah ada penjatuhan hukuman mati terhadap terdakwa korupsi.
Selain itu, ia menambahkan bahwa apabila hakim menjatuhkan hukuman mati dan telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah, masih terbuka pula ruang bagi Presiden untuk memberikan grasi dan amnesti.