Oleh: Dahlan Iskan
Pulang untuk Lebaran. Itulah mayoritas penumpang kapal ferry jurusan Surabaya-Lombok ini. Jumlahnya 980 orang –umumnya suami-istri dan anak. Jadwalnya pas banget: tiba di Lombok dua hari sebelum Lebaran.
Begitu tiba di Lombok, sang ferry balik lagi ke Surabaya: juga mengangkut mudikus yang ingin pulkam ke Surabaya. Masih bisa tiba di Surabaya sehari sebelum Lebaran. Toh Lebarannya hari ini. Tidak jadi maju ke hari kemarin.
Sebenarnya saya berharap ada yang Lebaran kemarin. Maka Sabtu siang, dalam perjalanan dari Lombok ke Sumbawa saya hubungi beberapa teman Muhammadiyah: apakah ada kemungkinan Muhammadiyah Lebaran tanggal 30 Maret?
Perbedaan kadang saya harapkan. Saya mau ikut pun Muhammadiyah atau NU bila salah satunya Lebaran tanggal 30 Maret.
Ternyata semua menjawab: Muhammadiyah juga Lebaran tanggal 31 Maret. Kali ini kompak dengan NU.
Lalu saya hubungi Bung Mirza di Aceh. Siapa tahu di sana berbeda. Kan lebih dekat ke Makkah –yang Lebarannya tanggal 30 Maret. Ternyata juga kompak 31 Maret.
“Hanya aliran tarekat Shatariyah yang beda. Tapi sudah lewat. Lebarannya sudah tanggal 29 Maret,” kata Mirza.
“Kalau bingung, sunnahnya ikut ulil amri saja. Semoga petugas yang lihat hilal jujur,” tambahnya. “Agar tidak seperti penentuan awal puasa kemarin. Tim Jakarta mengatakan sudah melihat hilal. Tim di Aceh tidak ada yang sudah melihat hilal. Akhirnya orang Aceh Besar banyak yang berbeda saat mulai berpuasa,” kata Mirza lagi.
Ya sudah. Sejak habis sahur di atas kapal itu saya kuatkan niat untuk Lebaran kompak. Berarti masih dua kali lagi sahur: di Lombok dan di Pulau Moyo.
Habis subuhan saya siap-siap olahraga. Saya bawa HP dan speaker mini. Saya menuju jogging track di geladak yang menghadap langit.
Wow! Banyak penumpang yang sudah lebih dulu ”menduduki” bagian-bagian strategis kapal Dharma Rucitra (milik Dharma Lautan Utama) yang paling atas ini: menanti indahnya terbit matahari.
Suasananya sudah seperti Lebaran: banyak yang pakai baju cantik. Saling canda dengan keluarga.
Anak-anak saling lari berkejaran. Baju-baju cantik itu untuk selfi. Dengan latar belakang fajar di ufuk timur.
Juga ada yang menempatkan matahari merah di posisi love lengan mereka.
Lokasi ideal yang sejak kemarinnya saya incar untuk senam-dansa juga sudah dipakai kumpul beberapa keluarga. Ups. Kalah dulu.
Saya salami mereka –kebetulan banyak yang mengenal saya. “Bagaimana kalau kita olahraga ramai-ramai di sini?” kata saya.
Ternyata mereka menyambut dengan antusias. Juga anak-anak mereka. Saya pun menyiapkan lagu-lagunya.
“Asyiiiik,” kata mereka sambil ikut bergoyang-goyang. Itulah jogetan menyambut terbitnya matahari dari permukaan air laut yang tidak ikut bergoyang.

Pukul 10.00 pengeras suara dari kapal mengumumkan: kapal sudah mendekati daratan Lombok Barat. Garbarata sudah disiapkan di dermaga. Satu jam kemudian kami turun di Lembar. Di Dermaga khusus penumpang. Lokasinya berbeda dengan pelabuhan Lembar untuk kapal barang. Tidak saling terlihat. Beda teluk. Berarti sudah lama saya tidak naik kapal ke Lombok.
Kami hanya membawa satu mobil dari Surabaya. Dua mobil lagi sudah menjemput di Lembar.
Kedatangan kapal ini jauh lebih awal dari perkiraan kami. Banyak waktu. Salah satu cucu saya ingin mampir ke Trans Studio di Mataram. Ia ingin naik roller coaster di situ.
Awalnya saya heran: apa istimewanya roller coaster di Lombok. Ternyata ada rahasia yang selama ini tidak ia banggakan: ia sedang berlomba membuat rekor. Siapa paling banyak naik roller coaster di lokasi, kota, dan negara yang berbeda. Dengan yang di Mataram ini nanti rekornya bertambah: 90 lokasi.
Ia kecewa.
Jalan menuju Trans Studio ditutup. Hari itu ada karnaval besar Ogoh-Ogoh di Mataram. Masyarakat Hindu di Lombok menyambut hari raya sunyi keesokan harinya: Nyepi. Banyak orang suku Bali di Lombok Barat.
“Mampir Mandalika saja,” usul saya. Semua setuju. Dari 12 orang baru saya dan Azrul yang sudah pernah ke Mandalika.
”Tur Dadakan Mandalika” pun lancar. Ternyata menyenangkan mereka. Apalagi bisa satu lap mengelilingi arena balap motor kelas dunia itu.

Hari kian sore. Perut puasa kian kempes. Maka begitu meninggalkan Mandalika mulailah dibuat daftar order: apa saja makanan yang diinginkan untuk berbuka puasa di Lombok Timur.
Semua nama makanan disebut –sepertinya harus menyiapkan pujasera. Ayam taliwang. Plecing. Babalung. Kelapa muda. Udang bakar. Rebus. Balado…
Kebetulan beberapa hari setelah Lebaran nanti udangnya dipanen. Bisa dicoba dulu untuk berbuka puasa. Andretti yang menarik jala.
Lihat fotonya.
Minal Aidin. Mohon maaf lahir batin. Terutama untuk para udang itu.(Dahlan Iskan)