Catatan Dahlan Iskan

Cak Nun

Bagikan
Bagikan

Oleh: Dahlan Iskan

Inilah salah satu doa saya di malam 27 Ramadan kemarin: ”doa untuk Cak Nun”.

Emha Ainun Najib, Cak Nun, penyair, dramawan, musikus dan kiai mbeling itu, sudah beberapa Lebaran tidak sadarkan diri.

Saya tidak pernah menjenguknya –dan itu, kata seorang teman, yang diinginkan keluarganya.

Tentu Cak Nun dijaga dan dirawat istrinya, penyanyi terkenal Novia Kolopaking. Juga anaknya, Gus Sabrang, yang sudah jadi sarjana sains dan penceramah laris.

Yang membuat saya ingat Cak Nun adalah teman yang lagi tinggal di Chicago, Amerika Serikat: Jamal Jufree Ahmad. Saya kenal Jamal dari Daeng Mude yang sudah lebih lama mengajar dan belajar di Hartford University, Connecticut.

“Ngapunten, saya dititipi surat permohonan dari keluarga Cak Nun. Agar jenengan menulis. Menika suratnya,” tulis Jufree di WA-nya pada saya.

Saya baca surat itu: teman-teman ingin menerbitkan buku untuk menandai usia Cak Nun 72 tahun tanggal 27 Mei depan.

Saya pun langsung menulis. Banyak yang harus saya tuangkan di tulisan. Ia pejuang di bidang penegakan keadilan. Lantang dalam menyuarakan keluh kesah lapisan rakyat jelata. Kritis dalam logika kekuasaan. Juga soal Padang Bulan dan Maiyahannya. Termasuk soal rokoknya.

Mungkin karena saya lapar, tulisan itu lupa saya kirim. Menjelang malam 27 Ramadan Bung Jufree menagih tulisan itu.

Saya cari-cari: di mana tersimpan. Rupanya tercampur dengan naskah-naskah untuk Disway. Begitu ketemu langsung saya kirim. Saya sertai doa: semoga datang keajaiban mukjizat yang bisa menyembuhkannya.

Saya ingat Butet ”Asu” Kartaredjasa. Waktu itu sudah tidak ada harapan hidup. Butet sendiri sudah pasrah. Ternyata bisa sehat seperti sedia kala. Tetap berkesenian. Main teater. Juga monolog.

Yang berbeda: kini Butet sangat membenci Jokowi dan keluarganya –dari yang dulunya begitu cinta sampai memajang foto besar Jokowi sebagai satrio piningit di rumahnya. Foto itu sudah dilenyapkannya.

Saat saya tanya soal itu Butet justru kirim lagu berjudul Negeri Palsu. Yakni lagu ciptaan Encik Krishna, Yogya. Saya lagi di atas laut. Tidak ada sinyal. Silakan disimak sendiri. Agar Indonesia tidak gelap –khususnya menjelang hari raya Idul Fitri ini.

Seperti juga Butet, kini Cak Nun ditangani Dr Ryu Hasan. Konon Presiden Prabowo-lah yang ”memerintahkan” Dr Ryu untuk menyembuhkan Cak Nun.

“Sudah ada sedikit kemajuan,” ujar Jufree. “Cak Nun sudah bisa didudukkan,” tambahnya.

Selebihnya ia tidak tahu. Jufree juga sudah tiga tahun tidak melihat Emha. Ia harus berangkat ke Chicago: menemani istri yang ambil S-3 di sana.

Saat dipamiti, tentu Emha merestui –dengan isyarat batinnya. Istri Jufree akan sembilan tahun studi Islam di Chicago. Khususnya soal tadabur dalam Alquran. Dia dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta (Disway 13 Desember 2024, Mayasari Tempe).

Saya menghubungi Dr Ryu tapi belum tersambung. Anda sudah tahu siapa Ryu Hasan. Namanya sering dibahas di kolom komentar Disway: ahli saraf otak, sudah lama bekerja sebagai dokter di Jepang, salah satu ahli yang tergabung di lembaga kesehatan PBB dan sesekali buka praktik di Jakarta.

Ryu juga cucu pendiri NU dan kiai terkemuka pondok Tambakberas, Jombang: KH Wahib Wahab.

Cak Nun juga orang Jombang. Dari desa Sumobito. Banyak pemikir Islam lahir di Jombang: Gus Dur, Nurcholish Madjid, Cak Nun, dan Ryu Hasan sendiri.

Empat-empatnya membawa bendera pemikiran Islam yang sangat modern. Bahkan Ryu terlalu modern: sampai membahas proses penciptaan manusia dan dari mana datangnya kehidupan.

Saya bertemu Ryu terakhir di Yogyakarta. Di saat Covid-19. Di belakang panggung pertunjukan teater Butet Kertarajasa. Ryu memang lekat dengan Butet.

“Seberapa besar peran Dr Ryu dalam penyembuhan Anda?” tanya saya pada Butet.

“Sampai 25 persen,” ujar Butet. Selebihnya datang dari dirinya sendiri dan teman-teman yang membesarkan optimismenya. “Usaha saya sendiri mungkin 10 persen,” kata Butet.

“Apa yang Anda usahakan?”

“Sikap pasrah. Saya sumeleh. Saya sudah siap untuk meninggal dunia,” jawabnya.

Teman-teman Cak Nun juga ingin memberikan dukungan yang sama. Tapi Cak Nun sudah tidak bisa mengenali siapa pun.

Buku tentang Cak Nun nanti tentu bisa mengobati rasa kangen jamaah Maiyahannya. Begitu banyak buku yang ditulis Cak Nun. Sudah lama mereka ingin tahu tentang pujaan mereka itu.

Cak Nun terus hidup di mata penggemarnya. Termasuk istri saya.

“Lho…Alhamdulillah… Cak Nun sudah sehat,” teriak istri saya kemarin. Dia sangat senang. Dia pun, terus menyaksikan Cak Nun di TV. Remote control tetap di tangan.

Dengar kegembiraan istri itu saya pun kaget. Rasanya tidak mungkin. Saya menengok ke layar TV. Cak Nun lagi ceramah tentang puasa dengan gaya khasnya.

“Oh…itu rekaman yang diputar ulang,” kata saya.

“Oh gitu ya. Saya pikir sudah sembuh,” katanyi.

Anda pun berharap Cak Nun sembuh. Apa pun sikap politiknya pada Presiden Prabowo nanti.

Bagikan
Artikel Terkait
Maaf Udang
Catatan Dahlan Iskan

Maaf Udang

Oleh: Dahlan Iskan Pulang untuk Lebaran. Itulah mayoritas penumpang kapal ferry jurusan...

Catatan Dahlan Iskan

Surabaya Lombok

Oleh: Dahlan Iskan LAUTKU tenang, Alhamdulillah. Kapalku besar, Alhamdulillah. Tak seayunpun gelombang...

Catatan Dahlan Iskan

Relawan Lain

Oleh: Dahlan Iskan SAAT Anda menerima THR hari ini saya dapat kiriman...

Catatan Dahlan Iskan

Relawan Jantung

Pasien pertama bedah jantung di Kupang, NTT, ini seorang wanita. Guru. Bu...