Catatan Dahlan Iskan

Bukit Wangbuliao

Bagikan
Bagikan

Oleh: Dahlan Iskan

Anda jangan iri: saya diajak makan wang bu liao lagi. Gratis lagi. Tempatnya istimewa. Di rumah baru seorang teman. Rumah peristirahatan. Di puncak bukit Taman Dayu, dekat Tretes.

Pemandangan senja dari roof top-nya istimewa. Bukit. Lembah yang dalam, puncak dua gunung yang menjulang tinggi, tebing terjal dengan batu-batu lebih besar dari gajah.

Pemandangan malamnya tak kalah menakjubkan. Cahaya dari lapangan golf, dari berbagai vila, dari perkotaan nan jauh di bawah sana.

Menikmati durian bersama Teguh Wijaya dan teman-temannya dari roof top rumahnya di puncak Taman Dayu —

Taman rumah itu sendiri tidak kalah menakjubkan: pohon-pohon langka dirawat dengan hati. Ada tiga pohon yang tumbuhnya dari dalam batu besar. Pasti lebih mahal dari mobil saya.

Ada pohon bodi –konon dari sedikit pohon yang tetap mengeluarkan oksigen di malam hari. Harusnya saya bertapa berhari-malam di bawah pohon itu seperti Buddha sang resi.

Anda sudah tahu wang bu liao (Disway, 3 Juli 2023: Wang Buliau). Yang istimewa kali ini masaknya: Tan Fajar Surya, si pemilik ternak wang bu liao, harus ke Malang dulu. Ia mencari koki terbaik yang pernah ia tahu. Di Malang ada resto kelas atas bernama KDS. Prof Pry pasti tahu itu.

Maka wang bu liao dilarikan lewat tol dulu ke Malang. Ia sendiri yang membawa dari Surabaya ke kota berjarak 90 km itu. Dijaga agar tetap hidup. Dimasak di KDS. Lalu dibawa balik dengan kontainer khusus ke Taman Dayu.

“Nikmat yang mana lagi yang masih engkau dustakan.”

Dua meja makan penuh. Meja wanita terpisah agar mereka bisa lebih asyik bicara baju dan perhiasan.

Saya justru tertarik dengan latar belakang pemilik rumah ini: ia kini pemilik pabrik tepung ikan terbesar di Indonesia. Segala macam ikan tidak laku ia tampung. Pun ikan yang sudah membusuk. Digiling sekalian dengan tulangnya. Untuk makanan ternak, pupuk, dan makanan ikan.

Namanya: Teguh Wijaya. Umur 67 tahun.

Ia tidak tamat sekolah apa pun. Pun tidak tamat SD. Sekolahnya hanya sampai kelas tiga di Desa Mojosari, tempatnya lahir.

Ia merasa cukup sudah bisa membaca dan menulis –biar pun tidak lancar. Satu-satunya buku yang pernah ia baca adalah buku ”Ini Budi”.

Bagikan
Artikel Terkait
Gumitir Gudang
Catatan Dahlan Iskan

Gumitir Gudang

Oleh: Dahlan Iskan Covid-19 datang lagi? Tidak. Tapi Bupati Jember Muhammad Fawait,...

Sayap Ekonom
Catatan Dahlan Iskan

Sayap Ekonom

Oleh: Dahlan Iskan   Dalam hidup saya ada dua Tionghoa terkenal yang...

Catatan Dahlan Iskan

Copot Kursi

Oleh: Dahlan Iskan   Begitu mendarat di Beijing Sabtu lalu berita besar...

Catatan Dahlan Iskan

Sebelas Duabelas

Oleh: Dahlan Iskan HANYA orang moderat yang bisa diterima oleh orang banyak....